Jumat, 24 Mei 2013
Sinopsis Bongkahan Bintang Lusuh Untuknya
Bongkahan bintang lusuh untuknya.
Aku ingat betul momen itu. Dia tersenyum ke arahku sambil menarik lengan kananku, menuju pinggir lapangan tempat ratusan orang berkumpul. Sangat ramai dan penuh sesak. Entah mengapa ratusan orang itu tahan berdesakan di lapangan ini -termasuk aku dan dia-. Kutatap dirinya yang mengenakan yukata yang seharusnya bukan untuknya -dia tampak tenggelam ketika memakainya-. Ternyata dia masih memegang lenganku dan menunjuk ke langit malam. Dahiku mengkerut. Apa maksudnya ? Kembang api ? Bukankah hal itu hal yang sudah biasa ? Kukembalikan kepalaku ke posisi semula, lalu menoleh ke arahnya. Aneh, dia tetap menunjuk-nunjuk langit. Apa lagi ini ? Kembali kugerakkan kepalaku ke arah yang ia maksud. Tiba-tiba muncul suatu perasaan yang tak bisa kujelaskan dengan apapun. Dia tersenyum lebar ke arahku, meminta pengakuan. Kualihkan pandanganku dari langit dan dirinya, lalu menariknya keluar lapangan. Dia meronta dan menghempaskan tanganku ke udara. Mau apa lagi kali ini ? Dia kembali menunjuk ke arah langit sambil mengangkat kedua alisnya, meminta pengakuanku lagi. Kuhela nafas panjang sebelum mengangguk mengiyakan permintaannya. Meloncat-loncat, menari-nari, dan berteriak kegirangan. Itu yang dia lakukan. Saat itu aku hanya tersenyum melihatnya, sama sekali tak menyadari bahwa dari sinalah semua ini dimulai.
Perjanjian itu memang kami buat. Tanpa ada unsur paksaan atau apapun yang membuat kedua belah pihak menjadi tak enak hati. Mungkin pada awalnya aku tak serius dalam menghadapi perjanjian ini. Toh saat itu aku masih menjadi bocah ingusan yang suka merengek bila tidak dibelikan ramen. Tetapi aku yang sekarang, bukan aku yang dulu. Aku tumbuh menjadi seorang pemuda -mungkin- tampan, bijaksana, dan yang terpenting adalah pemuda yang selalu melunasi janji.
Baiklah kembali kepada janji kami. Bisa dibilang aku telah menyelesaikan setengahnya. Aku telah menuruti keinginannya untuk membuat benda kecil yang ada di tangan kananku sekarang. Hanya saja aku belum memberikannya. Kau pasti mengira kalau aku ini pengecut. Ya, itu memang aku. Aku menjadi pengecut karena aku menambahkan sesuatu yang lain dari perjanjian kami. Aku menambahkan perasaanku. Itulah yang membuatku menjadi seorang pengecut. Tetapi apa aku salah ??
Salju mulai turun. Hidungku mulai memerah karena terlalu lama berdiri disini. Tetapi dia belum datang. Memang ini kebiasaannya. Menjadi karet dimanapun ia berada. Kini kuputuskan untuk menyeret kakiku -bagian tubuhku ini hampir membeku- menepi dan duduk di salah satu bangku cadangan di pinggir lapangan. Tiba-tiba seseorang duduk disampingku dan melambaikan tangannya tepat didepan wajahku. Kubuka lebar kelopak mataku dan menatapnya. Aku tersenyum. Dia datang. Tetapi tidak sendirian. Pemuda itu lagi yang menemaninya. Mereka bagaikan bulan dan malam yang tak bisa dipisahkan. Dan aku benci itu !
Tanpa basa-basi, langsung kuraih tangan kanannya lalu kuletakkan janjiku padanya. Terima ini ! Dia meneliti benda itu. Keningnya mengkerut. Awas saja kalau sampai dia tak menerimanya ! Aku membuatnya sendiri ! Walaupun mungkin bukan berasal dari bongkahan bintang asli seperti janjiku dulu. Tetapi setidaknya batu itu membentuk sebuah bintang. Jadi mungkin tak masalah. Toh dia memintaku untuk membuat replika bintang seperti bentuk kembang api saat itu.
Dia menatapku seolah berkata, apa ini ? Aku hanya bisa menelan ludah. Apa pemuda itu juga menghapus ingatan masa lalunya tentangku ? Aku mencoba meminta penjelasan kepada gadis disampingku ini. Tetapi dia tetap tak bergeming. Dia masih saja menatapku, meminta penjelasan tentang benda ditangannya. Baiklah, cukup ! Kurebut kembali benda kecil dari tangannya itu, lalu melemparnya sejauh mungkin darinya. Nafasku berantakan. Aku seperti orang yang telah menyelesaikan perlombaan lari tanpa keringat, ketika aku kembali menatapnya. Dia menunduk. Seperti merasa bersalah padaku. Tidak, bukan dia yang salah. Tetapi pemuda itu ! Pemuda itu yang bersalah. Pemuda dengan wajah lugu yang mengjengkelkan. Aku berjalan ke arah pemuda itu dan menatapnya. Disaat yang sama, aku berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku akan mengembalikan ingatannya tentangku -dengan caraku sendiri- dan menyingkirkan pemuda itu untuk selamanya dari kehidupan kami.
ttd.
Deva
Karya: Aniza Yanuriska Wardani, Debpi Zulpiarni, Adisti Natalia
Categories
BBLU
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar