Selasa, 15 Januari 2013

Aku Bisa_Cerpen

di Januari 15, 2013 0 komentar

Apa kalian pernah merasakan apa itu cinta sejati? Cinta yang tulus, cinta yang tidak pernah melihat kekurangan dari pasangannya, cinta yang tidak pernah memandang status, cinta yang selalu setia kepada pasangannya, cinta yang berani berkorban apapun hanya untuk pasangannya? Hmm aku tak pernah merasakan hal itu sampai sekarang, ya setiap kali aku bertanya kepada setiap orang, mereka selalu berkata, mungkin nanti. Ya nanti, dan aku juga tidak tahu kapan saat yang tepat aku dapat merasakan hal itu.


***
Aku kembali menghela nafasku perlahan, gumpalan gumpalan air itu kembali menetes seiring dengan suara petir yang saling bersahutan. Aku terdiam sejenak menatap langit kelabu siang ini, langit nampak hitam, tak ada sang mentari disana, tak ada juga burung-burung yang mengitari langit kelam itu. Aku berjalan pelan menuju meja riasku, memantulkan wajah ke depan cermin berukuran sedang itu. Lagi lagi aku menghembuskan nafasku berat. Wajahku seperti langit siang ini, kelam dan tak bercahaya sedikitpun, bahkan mata bulatku kini bertambah redup, yang terlihat hanya lingkaran hitam, dan sedikit sembab. Ya mungkin ini disebabkan oleh ulahku sendiri, sudah beberapa hari ini aku menangisi sesuatu yang seharusnya tak pantas untuk ku tangisi. Tapi lagi lagi aku hanya seorang wanita yang lemah, aku bukan wanita tegar seperti yang lain. Aku menangisi kebodohan ku sendiri ya aku memang wanita bodoh yang begitu naif. Andai itu semua bisa ku ulang, aku tak akan melakkukannya..

#FLASBACK#

Aku tersenyum melihatnya dari kejauhan, melihatnya yang sedang mendribel benda bulat itu, entah semenjak kapan aku mulai melakukan hal bodoh ini. Memandangnya dari bangku penonton saat ia dan grupnya bermain basket. Sungguh hal ini tak pernah ku lakukan sebelumnya, aku itu tipe tipe gadis yang tak pernah menyukai olahraga, terlebih lagi olahraga basket. Tapi ya mungkin ini yang dinamakan aku sedang terjangkit virus virus cinta.. :D

“woy gw cariin kemana mana, tau taunya lagi senyum-senyum nggak jelas disini” aku melirik sebentar kearah sahabatku itu, ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“tumben nonton basket, biasanya kan loe paling ogah sama yang namanya basket.” Ujarnya lagi, sambil duduk disampingku.
“biasa gw mau mencari kesibukan, kan bosen harus di kantin mulu, kallo lagi jam istirahat, sekali kali nonton kan gak pa pa.” Kataku santai.
“haha, bohong.. alesan loe klasik banget” jawabnya lagi, tak ku hiraukan, aku terlalu sibuk memperhatikan ia mendribel bola dan deg tanpa diduga duga ia melihat kearahku dan tersenyum manis kearah ku. Itu senyum pertama yang ia lontarkan kearahku, entah bagaimana sekarang rupaku, mungkin wajahku sekarang seperti kepiting rebus, merah padam. Aku membalas senyum itu dengan senyum termanis yang ku punya
“ciee temen gw lagi jatuh cinta rupanya..” ledek sahabatku lagi. “cinta pertama loe kan? Cieee...” lanjutnya lagi, kali ini ia memasang muka mengoda kepadaku.
“muka loe tuh bikin mual tau.” Kataku sambil berlalu dihadapannya. Bisa bisa satu lapangan basket ini tau kalo aku menyukai sang kapten basket itu aahh bisa kacau semuanya.

Berbulan bulan telah gw lalui dengan indahh... gimana gak coba? Impian gw buat dekat sama sang kapten akhirnya terkabul.. hihihi. Gw juga nggak nyangka dia bisa tiba tiba dateng ke gw pas gw lagi nunggu angkot yang lewat didepan sekolah gw. Dengan tampangnya yang cool itu dia nyamperin gw dan nawarin gw buat pulang bareng.. aahh itu bener-bener kayak mimpi buat gw. Nah semenjak itu juga gw semakin akrab sama dia.. hampir tiap hari dia ngajak gw pulang bareng. Malah kadang-kadang dia jemput gw pake motor balapnyaa. Seperti hari ini, entah angin darimana tiba-tiba saja dia mengajakku pergi sehabis pulang sekolah nanti. Hihihi.. impianku akan segera menjadi nyata :D. Kita seharian muter- muter di mall, dari yang namanya nonton, makan, sampe main game kita lakuin semuanyaa... aahh senangnya hari ini.. jam udah menunjukkan pukul 19.00 itu berarti udah ekitar 5 jam gw ngabisin waktu bareng dia tadi.. ini bakal jadi kenang-kenangan yang nggak bakal gw lupain..
Gw dianter dengan selamat sampai rumah gw, dengan cepat gw turun dari motornya.
“beneran nggak mau masuk nih?” tawar gw lembut, dia membalasnya dengan senyuman yang manis banget.
“nggak deh, lain kali aja. Belum mandi nih kasian ntar yang ada dirumah kamu kalo aku masuk.” Candanya, aku tersenyum mendengarnya.
“yaudah aku masuk dulu ya? Makasih banget buat hari ini.” Ucapku, ia mengangguk pelan.
“aku pulang ya? Dah..” pamitnya dan kemudian dia mulai melajukan sepeda motornya. Aku mulai melangkahkan kakiku pelan memasuki rumah. Menaiki beberapa tangga  menuju kamarku. Jgreekk aku membuka pintu kamarku perlahan dan
“kemana aja sih? Gw udah kayak anak ilang nih.” Ujar sahabatku. Aku mengerutkan keningku bingung. Semenjak kapan nih makhluk ada disini?
“gw udah lamaaaa banget disini, tau?” omelnya pelan.
“emangnya gw yang nyuruh apa?” kataku santai, aku berjalan pelan dan kemudian menaruh tas ranselku diatas rak bukuku.
“abis jalan ya?” lagi lagi ia menginstrogasiku.
“hmm”
“cieee temen gw udah gede.” Ledeknya lagi.
“sejak kapan disini?”
“sejak kita pulang sekolah. Gw lagi BT dirumah nih.” Jawabnya sambil menerawang entah kemana. Ya gw udah apal banget sifat temen gw yang satu ini, paling nggak betah diem dirumahnya sendiri. Padahal ya rumah dia lebih gede dan baguss dibanding rumah gw.
“pasti gara gara masalah itu ya?” tanyaku. Dia mengangguk pelan.
“gw nginep disini ya?”
“iyaa, asal gak bikin gw susah aja.” Jawabku
“tenang gw traktir besokk... eh ngomong – ngomong ngapain aja tadi? Sama sih kapten basket ya? Aciee bentar lagi gw dapet PJ donk?” ujarnya sambil menyenggol-nyenggol lenganku.
“PJ apa? Gw nggak ngapain-napain tadi cuman jalan-jalan aja.”
“akh masa sih?” lagi-lagi ia mengodaku. Tatapan matanya itu loh bener-bener pingin ditimpuk.
“apa sih? Udah akh mau mandi.” Jawabku dan dengan cepat aku meninggalkannya sendiri dikamarku. Ntuh anakkan kalo diladenin nggak bakal kelar. Yang ada kesel ngomong sama dia kalo kelamaan.

Pembagian rapot pun tiba.. itu berati sudah 3bulan lamanya semenjak kejadian aku diajak pergi oleh si kapten basket itu. Senyumku mengembang ketika aku mendapatkan prikat 10 besar dikelas ini, biasanya kan aku hanya ada diurutan belasan, dan akhirnya aku dapat mengalahkan sahabatku yang terkenal super jenius itu.. hihihi.. kebahagiaanku juga bertambah jika mengingat peristiwa itu, ya peristiwa semalam dimana ketika sang kapten datang dan menembakku saat itu. Aah ini bener-bener seperti mimpi bagiku. Impianku sejak awal masuk sekolah ini akhirnya terkabul. Ya tanpa pikir panjang lagi aku segera menerimanya dan kita resmi berpacarannn J

Hari haripun berlalu dengan cepat, dan semua berjalan sesuai dengan keinginanku, indah sangat indah. Hampir setiap hari aku dan dia menghabiskan waktu bersama, dari pulang sekolah sampai aku tertidur pulas dia selalu menemaniku. Oh iya aku hampir lupa, aku dan dia beda kelas. Ya aku kelas 11 sementara dia kelas 12. Semenjak dia naik menjadi kelas 12 ia berhenti menjadi ketua team basket sekolah kami. Ya itu memang peraturan dari sekolah ini, bahwa siapapun yang sudah duduk dibangku akhir tidak boleh mengikuti apapun, selain pelajaran utama disekolah. Ya ya bisa ku bayangkan betapa bosannya nanti ketika aku duduk disana. Hanya dihadapkan dengan yang namanya buku-buku tebal dan berbagai macam soal – soal. Membayangkannya saja aku sudah merinding.. hihihi.

“cie cie yang lagi dimabuk asmara.” Goda sahabatku itu. Entahlah sudah berapa kali dia menggodaku seperti ini, dan hanya aku tanggapi dengan sebuah kalimat “kenapa? Sirik ya?” jujur aku heran dengannya semenjak aku berteman denganya ia tidak pernah terlihat dekat dengan seorang lelaki, mungkin ia trauma dengan keadaan keluarganya itu.
“ngapain sirik? Semua lelaki itu sama aja tau BUAYA.” Jawabnya ketus.
“cwo gw nggak tuh.”
“yakin?” tanyanya sambil memandangku penuh dengan maksud. Kenapa sih nih anak? Kok jadi aneh gini?
“yakinlah, dia tuh baik, setia, dan tentunya sayang banget sama gw.” Kataku sambil tersenyum memikirkanya. Sahabatku menghembuskan nafasnya pelan.
“gw nggak yakin.” Cicitnya pelan sangat pelan, tapi aku masih bisa mendengarnya. Aku mengerutkan keningku bingung. “maksudnya?”
“gw saranin ya sama loe jangan terlalu sayang sama dia, kalo loe nggak mau ngerasa yang namanya patah hati.” Ujarnya, sambil ngeloyor pergi meninggalkanku sendiri didalam kelas. Apa sih maksudnya? Patah hati? Siapa yang patah hati? Tuh anaak kesurupan apaan sih? Dateng-dateng ngomongnya aneh bin ajaib gitu. Masa nyumpahin sahabatnya sendiri patah hati? Au akh bodo amat. Mungkin tadi dia cuman asal ngomong aja, diakan suka aneh orangnya.

Hari ini entah perasaaanku saja atau memang ini yang sebenernya terjadi, pacarku agak sedikit berubah akhir-akhir ini, ya memang sih dia masih antar-jemputku tiap hari, masih sering smsan atau teleponan, kadang juga kita jalan ke mall atau hanya sekedar jalan ditaman dekat rumah, tapi tetap saja ada yang mengganjal dihati, rasanya risih banget. Malah entah kenapa jadi malah kepikiran sama kata-kata sahabatku itu. Aku memejamkan mataku perlahan, berusaha menenangkan perasaanku sendiri, dan menyakinkan diri kalau semua berjalan dengan baik. Aahh sudah lupakan soal omongannya yang nggak penting itu. Dia pasti asal-asalan ngomong itu. Udah akh mending aku jalan-jalan. Aku mencoba menghubungi sahabatku menggunakan ponselku, menekan beberpa nomer yang tentunya sudah ku hafal dengan baik. Tut tut “nomer yang sedang anda tuju sedang diluar jangkauan, silahkan menghubunginya kembali.” Yaa malah dijawab sama itu operator. Kemana sih dia? Tumben-tumbenan pake segala matiin hpnya. Terus gw ngapain donk? Masa jalan-jalan sendiri? Aakh bodo dah daripada suntuk dirumah. Aku segera mengambil tas ku yang berukuran mini itu dan melangkah pergi keluar rumah.

Sekarang enaknya kemana? Mall? Akh nggak. Aku paling anti sama yang namanya mall kalo cuman pergi sendirian. Danau? Yaa ada juga melempem kayak kerupuk ngeliat banyaknya pasangan yang lagi berdua-duaan dengan mesranya, ribet deh urusannya kalo punya pacar kelas akhir gini, bawaanya sibuk mulu. Adalah les, pelajaran tambahan, kerja kelompok sama teman, apalagi beberapa minggu lagi dia UAN udah deh sibuk terusss..
Aku melangkahkan kakiku pelan, menendang-nendang batu-batu kecil yang ada dijalan setapak ini, angin berhembus perlahan, menerbangkan rabutku yang sudah ku ikat dengan rapi. Sejenak aku terdiam mataku menyusuri jalan ini. Ada dua belokan kekanan dan kekiri. Kalo kanan itu kan kedanau.. hmm nggak akh, kekiri aja mending juga ketaman ya walaupun banyak juga sih orang pacaran disini tapi seenggaknya ada beberapa anak kecil yang lagi bermain. Nggak tau kenapa dari dulu aku paling suka sama yang namanya anak kecil. Rasanya damai aja gitu ngeliat anak kecil lagi pada main tanpa beban seperti itu. Aku duduk disalah satu bangku taman yang ada di sini. Memandang beberapa anak yang sedang bermain bersama teman-temanya. Aku jadi ingat awal aku bisa berkenalan dengan sahabatku itu, ya ditaman ini. Aku yang sedang tertawa dan bermain bersama teman yang lain tak sengaja melihatnya sedang menangis dipinggir taman. Wajahnya saat itu benar-benar mengenaskan. Hehehe. Rambutnya juga acak-acakan tak karuan. Ya dulu memang sahabatku terkenal pendiam dan penyendiri tapi entah mengapa sekarang iya menjadi bawel, sangat bawel malah. Tiba-tiba saja mataku tertumbuk pada seseorang. Tunggu tunggu sepertinya aku mengenalnya. Sepasang orang itu aku sangat mengenalnya, dari postur tubuhnya, rambutnya, dan cara mereka berjalan. Ya tak salah lagi itu mereka. Aku buru-buru bangkit dari tempatku dan berjalan cepat menyusul mereka. Tepat aku dibelakang mereka berdua. Baru saja aku ingin memanggilnya, tiba-tiba aku mendengar sesuatu yang mengejutkan.
“jadi gimana loe maukan jadi cwe gw?” tanya lelaki itu. He? Jadi cwenya? Apa maksudnya? Aku lalu bersembunyi dibalik pohon besar yang tidak terlalu jauh dari mereka.
“tapikan loe udah punya cwe.” Jawab cwe itu yang tak lain adalah sahabatku sendiri dan lelaki itu dia! Ya pacarku! Apa-apaan ini maksudnya? Jadi itu alesannya kenapa mereka sedikit berubah padaku?
“ya gw tuh sengaja ngedeketin dia, buat bisa deket sama loe. Dari awal tuh gw sukanya sama loe. Bukan dia.” Jawab lelaki itu dengan santainya. Perlahan tapi pasti air mataku keluar begitu saja, mengalir dengan cepat. Jadi aku cuman dibuat umpan? Bodoh! Aku sangat bodoh bisa mencintai lelaki bejat seperti dia!
“gimana? Maukan?” tanya lelaki itu lagi. Cwe yang ada disebelahnya nampak berfikir.
“gw...” ujarnya ragu. Cukup! Aku tak ingin mendengarnya lagi! Tak mau! Ini terlalu menyakitkan untukku! Dengan cepat aku keluar dari tempat dimana aku bersembunyi!
“KALIAN TEGA SAMA GW! TEGA!!” ucapku garang, entah apa yang kurasakan saat ini. Pedih ya mungkin hanya itu yang dapat mewakili semuanya. Sahabatku nampak terkejut melihatku, “loe tega sama gw! Loe jahat! Selama ini gw yang selalu berusaha buat ngertiin segala macam persoalan keluarga loe! Tapi apa yang loe bales? Ha?! Apa?!” kataku tegas sambil menatap tajam kearah matanya, nafasku naik turun tak karuan, ingin sekali aku menampar mereka berdua, tapi percuma tamparanku takkan bisa mengobati lukaku sama sekali.
“gw bisa jelasin semua ini! Loe tenang dulu.” Ucapnya sambil memenggang pundakku. Apa? Tenang dia bilang? Setelah semua yang ia lakukan sama gw? Dia masih bisa nyuruh gw tenang? Gila ini gila!!
“lepasin tangan loe! Gw nggak mau tangan loe nyentuh gw!” ucapku tajam. Aku mengalihkan pandanganku menuju cwo bresek yang sedaritadi diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
“puas? Sekarang loe udah puas? Mulai sekarang kita putus !!! gw nggak peduli loe mau jadian sama dia kek atau kakek-kakek sekalipun! Gw gak peduliiii!!!” makiku cukup keras dan omonganku itu cukup menyedot perhatian orang-orang yang ada disini, mereka memandangku dengan tatapan heran.
“dan buat loe penghianat!” kataku tajam, aku memandangnya cukup lama. “persahabatan kita putus sampai sini! Loe bukan lagi sahabat gw! Anggep aja kita nggak pernah kenal lagi!!!” ujarku tegas, setelah mengatakan itu aku berlari sekuat yang aku bisa, meninggalkan semua kenangan pahit ini. Hatiku sakit, perih, aku tidak pernah menyangka ini semua terjadi, kedua orang yang sangat ku sayangi tega menyakitiku seperti ini. Mereka keterlaluan! Sangat keterlaluan. Aku masuk kedalam rumahku, mama yang sedang menyiapkan makan siang itu terlihat kaget ketika aku datang dan tanpa menyapanya langsung berlari keatas, membanting pintu kamarku keras. Melempar tas mini ku kesegala arah. Tak lupa aku menyambar bingkai foto yang berisikan aku dan cwo brengsek yang ku taruh tepat dimeja samping ranjangku. Melirik sebentar lalu melemparkanya sehingga bingkai itu menabrak dinding kamarku dan kaca bingkai itu pecah menjaadi beberapa bagian. Aku menghempaskan tubuhku keatas kasurku. Menarik selimutku dan menangis terisak disana.

***

Seminggu sudah kejadian itu namun sampai sekarang aku tak pernah melupakannya. Hatiku terasa begitu sakit jika mengingat itu. Dan seminggu itupula aku ijin untuk tidak masuk kesekolah, aku tak kuat jika harus melihat mereka berdua disekolah nanti. Pasti mereka sedang berpacaran dan bermesraan. Mereka pasti tertawa melihat keadaanku seperti ini.

Tok tok.. aku mendengar seseorang mengetuk pintu kamarku pelan. dengan cepat aku menghapus sisa-sisa air mata yang ada dipipiku.
“masuk” ucapku pelan.
Perlahan orang itupun melangkahkan kakinya menuju tempat dimana aku sedang berdiri menghadap jendela kamarku.
“gw..” ujar orang itu pelan. suara itu? Ya suara itu aku sangat mengenalnya, suara seseorang yang telah membuatku seperti ini.
“ngapain loe kesini? Belum puas loe nyakitin gw?” tanyaku tanpa menatapnya sedikitpun.
“gw khawatir sama loe. Udah seminggu ini loe nggak masuk sekolah. Loe sakit?” tanyanya lembut.
“apa peduli loe? Mau gw sakit atau mati sekalipun itu nggak ngaruhkan buat loe?” lagi-lagi aku menyemprotnya dengan kata-kata pedasku.
“biarin gw jelasin dulu. Loe salah paham.” Jawabnya ia membalikkan tubuhku yang tadinya membelakangiku.
“lepas!” kataku kasar, aku mendorongnya pelan.
“loe salah paham.”
“salah paham? Jelas gw liat loe lagi asiik PDKT sama pacargw ups lupa MANTAN PACAR GW!” kataku ketus dengan sedikit penekanan pada kata mantan pacar. Dia menatapku memohon, sedangkan aku menatapnya dengan tatapan garang.
“yang loe lihat nggak sama kayak aslinya. Makanya please dengerin gw dulu.” Ia memohon seperti anak kecil padaku. Belum pernah ia memohon seperti ini
“nggak perlu.” Ucapku singkat, aku melangkahkan kaki dan duduk diatas kasur empukku. Dia mengikuti langkahku dan duduk tepat disampingku.
“mau ngapain lagi sih? Udah sana pulang! Jadi orang punya malu sedikit kek!” makiku, ia menunduk mendengar perkataanku barusan.
“maaf.” Ujarnya pelan, hampir tidak terdengar.
“ya ya selamat ya udah jadi cwenya mantan kapten basket yang di idolakan itu.” Kataku ketus. Dia menatapku lembut. “gw nggak jadian sama dia.” Jawabnya, aku memandangnya kaget.
“oohh bagus banget ya? Jadi itu yang loe mau? Loe mau ngerusak hubungan gw sama dia da setelah loe puas loe ninggalin dia? Ya ampunn gw nggak nyangka loe hebat banget!” cerocosku padanya. Dia tidak berani memandangku, ia hanya menghela nafasnya pelan.
“bukan! Bukan gitu maksud gw!” bantahnya cepat.
“terus maksud loe apa?!” tantangku cepat. Kini aku dan dia saling bertatapan, belum pernah aku melihatnya sesedih seperti sekarang. apa dia merasa bersalah ya padaku? Apa sikapku keterlaluan padanya? Akh nggak! Dia yang keterlaluan! Dia duluan yang memulai pertengkaran ini.

“makanya dengerin dulu penjelasan gw!” ujarnya lagi.
“oke loe jelasin sekarang! cepet waktu loe nggak banyak!” dia menghembuskan nafasnya pperlahan.
“gw sengaja ngedeketin dia.” Mulainya. Ha? Apa tadi sengaja? Ini cwe bener-bener udah gila!
“gw tau gw salah, tapi ini gw lakuin buat loe.”
“buat gw? Maksud loe apa?” kataku heran.
“iya gw sengaja ngelakuinnya, karena gw tau dia nggak lebih dari seorang penipu. Dia cuman mau mainin loe aja.”
“tau darimana loe? Loenya tuh kegatelan.” Kataku kasar, lagi-lagi dia menghekla nafasnya pelan.
“waktu itu gw sempet ngeliat dia jalan sama cwe lain.”
“iya cwenya loe.” Potongku cepat.
“dengerin gw dulu, gw belum selesai.” Katanya cepat.
“hmm” balasku malas.
“gw ngeliat dia jalan sama cwe lain di mall. Semenjak itu gw mutusin buat ngedeketin dia dan ngebuktiin ke loe, kalo dia bukan cwo baik kayak loe pikiin selama ini.” Jelasnya lagi.
“kenapa harus kayak gitu? Loekan bisa bilang ke gw kalo loe liat dia jalan sama cwe lain kan?”
“iya gw awalnya pingin ngomong sama loe langsung. Tapi pas gw mau cerita loenya lagi bener-bener dibutain sama dia. Mana mau loe percaya sama gw.”
“Loe kan belum nyoba, makanya coba dulu donk.”
“gw udah pernah nyoba, inget kata-kata gw waktu itu?” tanyanya lagi.
“kata-kata yang loe bilang semua cwo itu buaya?” tanyaku ragu, dia mengangguk pelan.
“ya yang itu. Tapi saat itu loe dengan yakin bilang cwo loe setia. Nah gw nggak tega buat ngomong itu ke loe. Dan gw ngelakuin ini semua buat ngebuktiin ke loe. Oke gw akuin cara gw salah. Tapi nggak ada lagi cara yang lain. Cuman cara ini yang ada dikepala gw saat itu.” Jelasnya panjang. Aku terdiam sejenak mencerna setiap kata yang ia keluaarkan baik-baik. Apa semua yang ia katakan tadi benar?
“please percaya sama gw. Gw nggak mungkin setega itu sama sahabat gw sendiri. Gw sayang loe, gw udah nganggep loe adek gw. Jadi nggak mungkin gw tega nyakitin adek gw sendiri.” Isaknya pelan. dia menangis? Ini pertama kalinya aku melihat ia menangis setelah kejadian ditaman saat itu. Apa aku harus mempercayainya ya? Tapi rasanya sunggu berat untuk memaafkannya dan mempercayai semua itu.
“kalo loe nggak mau percaya dan mau maafin gw, gw terima kok, gw tau perbuatan gw ini keterlaluan. Jadi wajar aja kalo loe nggak bisa maafin gw.” Ucapnya pelan. dia menghapus sisa-sisa air matanya yang berada disudut matanya, perlahan dia mulai melangkahkan kakinya. Namun baru berapa langkah ia berjalan menuju pintu kamarku, ia kembali berhenti ketika mendengar perkataanku.
“gw percaya sama loe, gw udah maafin loe kok.” Ucapku pelan, ia menatapku tak percaya.
“beneran? Yakin?” tanyanya takjub, aku anggukan kepalaku pelan, entah apa yang ku lakukan saat ini, yang ku tahu adalah, aku tidak ingin kehilangan sahabatku. Dia sudah menjadi bagian dari hhidupku saat ini. Dengan cepat ia berlari kearahku, memelukku dengan erat. “makasih.” Bisiknya.
“iya iya gw maafin, tapi jangan meluk-meluk kayak gini donk, ntar ada yang masuk kan nggak enak, ntar disangkanya kita nggak noormal lagi.” Candaku pelan, ia segera melepaskan pelukkannya dan mengaruk-garuk kepalanya seperti orang bodoh.
“hehehe” cengirnya. Aku tersenyum melihatnya lalu melemparkan bantal kearahnya. Dan setelah itu kamipun saling melempar bantal seperti anak kecil.

***

Ya walaupun sampai saat ini aku belum menemukan seseorang yang benar-benar mencintaiku dengan tulus dan tanpa mengharapkan apapun, tapi yang terpenting adalah aku memiliki sahabat – sahabat yang menyayangiku dengan tulus. Ia mau menerima semua kekuranganku dan ia selalu ada di saat aku membutuhkannya. Ya bagiku itu sudah lebih dari cukup untuk sekarang...

TAMAT!!!!

Minggu, 13 Januari 2013

Cerpen_Tak Ada yang Abadi

di Januari 13, 2013 0 komentar

Semua yang kita miliki di dunia ini sejujurnya adalah milik Sang Pencipta. Hidup, mati, jodoh bahkan materi yang kita miliki didunia juga milik Sang Pencipta. Maka dari itu pada saatnya nanti semua yang kita miliki akan kembali kepada Sang Pencipta. Ya didunia ini memang tak ada yang abadi, kita seolah olah hanya meminjam dari Sang Pencipta.


--------------------TAK ADA YANG ABADI-------------------


Ini adalah kisahku, kisah yang ku tulis diatas sebuah kertas putih dengan menggunakan tinta hitam. Cerita ini bukan sekedar rekayasa, ini adalah nyata, ya kenyataan pahit. Sangat pahit dan menyedihkan menurutku. Kejadian dimana aku kehilangan semua yang ku punya. Ya Sang pencipta itu mengambil semua yang ku miliki, tak ada satupun yang di sisakan olehNya. Berlebihan? Tidak! Ini tidak berlebihan! Semua ini yang ku alami. Ini merupakan cerita masa laluku yang kelam!



Angin berhembus sangat kencang menerbangkan tiap-tiap dedaunan kering yang telah gugur dari dahannya. Rerumputan yang hijau terbentang dengan indahnya, pohon-pohon besar tertanam dengan kokoh. Sejuk. Sangat sejuk! Oleh sebab itulah banyak orang yang berlalu lalang disini, dari segala umur, anak-anak hingga orang tuapun ada disini. Ada yang bermain bersama keluarga, teman atau ada juga yang hanya duduk santai menikmati pemandangan disini.

Begitupun denganku, sekarang aku sedang berlari mengitari taman ini. Rambutku yang telah di ikat dengan rapi oleh ibuku ikut bergoyang layaknya sebuah irama yang mengikuti tiap gerakku.
“oik sayang jangan lari-lari nak. Nanti kamu jatuh.” tegur ayahku. Aku menengok kearahnya, lalu tersenyum pada ayah.
“ ayo yah! Kejar oik kalau bisa.”


Aku terus berlari hingga akhirnya aku tak sengaja tersandung batu yang berada didepanku.
BUUKK!!!!!
Dengan sukses aku terjatuh ditanah. Perlahan tapi pasti cairan merah kental itu keluar dari lututku yang terbentur dengan batu itu.
“ hua ayah.” Isakku keras. Ayah menghampiriku, wajahnya begitu cemas, nafasnya tak teratur.
“yaampun kamu kenapa nak? Kok bisa jatuh?” Tanya ayah cepat.
“sakit yah.” Lagi lagi aku merengek manja. Ayah meniup niup lukaku yang menganga lebar itu, berharap dengan itu sakit yang kurasakan akan berkurang.
“kita pulang yuk nak.” Ajak ayah pelan, aku menggeleng keras.
“nggak bisa jalan yah, sakit.”
“yaudah ayah gendong sini. Jangan nangis donk! Anak ayah nggak boleh cengeng.”
Aku mengangguk lalu mengusap air mataku yang masih tersisa dipipiku. Ayah membungkukkan pundaknya dengan sigap aku menaiki pundaknya itu.

^,^
“loh? oik kenapa kok di gendong sama ayah?” Tanya kakakku ketika kami sudah sampai dirumah.
“oik jatuh tadi!” jawab ayah singkat
“jatuh? Hahaha. Makanya jadi anak tuh jangan bandel. Jatuhkan?” ledek kakakku. Aku mengembungkan pipi bertanda aku sedang kesal.
“iel! Nggak boleh gitu sama adiknya! Adik kamu tuh lagi ketimpa musibah, bukannya di tolong malah di ledek!” tegur ayah. Kakak terlihat cemberut, sedangkan aku dengan seenaknya menjulurkan lidahku, untuk meledek kakakku.
“dasar manja!”
“biarin.”


Aku hidup dari keluarga yang berkecukupan, bahkan tergolong lebih. Keluargaku yang terdiri dari ayah, ibu, kakak, dan aku hidup sangat bahagia. Hampir tak ada masalah yang berat yang menimpa keluargaku. Kami juga saling menyayangi antar satu sama lain, meskipun aku dan kakak sering terlibat pertengkaran. Tapi menurutku itu semua wajar untuk sepasang kakak adik seperti kami. Oh iya umurku dan kakak terpaut cukup jauh sekitar 7 tahun, kakak sekarang berumur 14 tahun sedangkan aku baru berumur 7 tahun.

Ya hidupku dulu memang indah, tapi semua itu telah berlalu ya berlalu begitu saja. Hidupku sekarang hancur! Sangat hancur! Hidup yang berat kini sedang menghantuiku, ini semua berawal dari kejadian yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Kejadian yang begitu merubah jalan hidupku dan tentunya keluargaku.

“ ayah mau kemana? oik ikut yah.” Kataku manja, aku terus menarik ujung kemeja ayah.
“ oik disini aja. Temenin kak iel sama ibu.” Jawab ayah sambil tersenyum hangat.
“nggak mau! oik mau ikut sama ayah!” kataku ngeyel. Kali ini aku tak lagi menarik ujung kemeja ayah melainkan aku menarik tangan ayah.
“ayah cuman sebentar kok. oik disini jaga ibu dan kak iel! Jangan nakal ya nak? Ayah pegi dulu!” perlahan lahan ayah melepaskan genggaman tanganku.

“AYAH!!” panggilku keras, tapi itu percuma ayah telah pergi bersama dua orang lelaki yang bertubuh besar dan tegap itu. Aku tertunduk ditanah menatap punggung ayah yang kian lama kian menghilang. Entah mengapa, aku merasa kepergian ayah kali ini adalah kepergian ayah untuk selama-lamanya.

“dek, udah jangan nangis. Ayah cuman sebentar kok.” Hibur kak iel. Ia lalu membantuku untuk berdiri.
“oik mau ikut ayah kak. Hiks.” Isakku pelan.
“kan ayah cuman sebentar. oik jangan nangis donk, oik kan dulu pernah janji sama ayah kalau sela bakal jadi anak yang kuat bukan jadi anak manja.” Kak iel memelukku erat.
“kakak yakin ayah pasti kembali.”

Seminggu telah berlalu sejak kejadian waktu itu, tapi ayah tak juga kembali hingga sekarang. Seperti perkiraanku sebelumnya ayah pergi untuk waktu yang lama atau mungkin tak akan kembali untuk selamanya.

“ aku nggak mau main sama oik!”
“iya oik anak pencuri!” aku memandang satu persatu teman temanku, memikirkan apa yang dikatakan oleh mereka. Anak pencuri? Aku anak pencuri? Bukan! Aku bukan anak pencuri!
“oik bukan anak pencuri!” belaku.
“oik anak pencuri! Buktinya ayah oik di tankep sama pak polisi! Itu karena ayah oik pencuri!” jelas temanku.
“bukan! Ayah oik bukan pencuri! Ayah oik orangnya baik! Jadi nggak mungkin mencuri!” aku terus terusan membela ayahku. Ya walaupun sejujurnya aku tak tau pasti apa yang terjadi pada ayah. Tapi aku yakin ayah bukanlah seorang pencuri! BUKAN!

“ udah deh, pencuri mah mana ada yang mau ngaku! Udah yuk temen-temen kita main aja tinggalin aja anak pencuri sendirian!” setelah mengatakan itu, semua teman-temanku pergi meninggalkanku sendirian. Aku menundukan kepalaku, sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak meneteskan air mataku ini.

Tes.
Tes.
Tes.
Satu persatu air mataku jatuh, jatuh seperti hujan yang semankin lama semakin deras.

“..anak ayah nggak boleh nangis!”
“..anak ayahkan kuat, nggak cengeng!” suara ayah terus menggema di telingaku, semakin lama semakin jelas.

“hei kok nangis?” tunggu ini bukan suara ayah. Laku ini suara siapa? Aku mendonggakkan kepalaku, untuk melihat pemilik suara asing itu.
“kamu siapa?” tanyaku heran karena sebelumnya aku tak pernah melihatnya.
“aku obiet. Kamu?” jawabnya, iapun mengulurkan tangannya. Aku menyambut uluran tanganya itu.
“aku oik.”
“kamu kenapa nangis? Udah gitu sendirian lagi?”
“nggak ada yang mau main sama aku.” Jawabku singkat.
“kenapa?”
“hiks, kata mereka ayahku pencuri.” Lagi lagi air mataku jatuh.
“pencuri?” tanyanya heran, aku menangguk pelan.
“tapi aku yakin ayahku bukan pencuri.” Belaku.
“kalo gitu sela main sama obiet aja ya?” tawarnya, aku nenggerutkan kening.
“obiet mau main sama oik? Beneran? Yakin?” tanyaku menyakinkan. obiet menganguk pasti.
“ta..ta..pikan ayah obiet pencuri?”
“akukan mainnya sama oik, bukan sama ayah kamu.”
“jadi?”
“mulai sekarang kita temenan!”

“janji ya nggak akan ninggalin aku kayak temen yang lain?”
“janji!”

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, kini matahari perlahan-lahan mulai tenggelam di gantikan dengan cahaya rembulan yang indah.
“ik, udah malam, kita pulang yuk.” Ajak obiet, ya sejak tadi siang aku dan angga sibuk bermain. Ada saja yang kami lakukan. Dari bermain petak umpet, kejar kejaran, dan sebagainya.
“ayo, sela juga mau pulang, takut dimarahin sama kakak.” Ujarku.

“ya ampun adik kakak kemana aja, kok jam segini baru pulang?” Tanya kakak sesampainya aku dirumah. Aku tersenyum.
“hehehe. Abis main kak. Tadi aku dapet teman baru.”
“main sih boleh. Tapi nggak sampai malam juga kan?”
“iya iya maaf.”
“yaudah mandi sana. Udah asem tuh.” Ledek kakak seraya menutup hidungnya.
“ye oik nggak bau tau..” kataku manyun, lalu segera aku menuju kamarku menggambil baju dan pergi mandi.

Bermenit- menit telah berlalu, kini aku dan kakak sedang berada di meja makan menikmati makan malam kami yang sederhana.
“kak, kok dari tadi aku nggak lihat ibu. Ibu kemana kak?” tanyaku heran, karena memang dari pagi sampai saat ini ibu tak terlihat. Cukup lama kak iel terdiam, keningnya menggkerut, entah apa yang sedang ia pikirkan.
“hmm.. ibu? Oh ibu lagi cari kerja dek, ya cari kerja!”  jawab kakak kikuk.
“cari kerja?” tanyaku lagi. Kak iel mengangguk.
“udah, kalau kamu sudah besar kamu bakal ngerti kok.” Jawabnya lagi.




Waktu demi waktu telah berlalu, berganti hari, minggu, bulan, bahkan tahun. Kini aku yang sekarang bukanlah seorang gadis yang cengeng dan manja. Kini aku tumbuh menjadi seorang gadis yang dewasa. Ya seiring berjalannya waktu aku mulai mengerti apa yang terjadi dengan hidupku. Dimulai dari ayah yang di tangkap oleh polisi karena di tuduh menggelapkan uang di perusahaan tempat dia berkerja, lalu di susul oleh ibu yang menghilang dan sampai sekarang aku dan kakak tak tau keberadaan ibu dimana. Kalian tau apa sebab ibu pergi meninggalkan kami? Sebabnya sangat sederhana! Ya ibu tak bisa dan tak mau hidup dalam kesederhanaan seperti sekarang! Pikiran yang picik menurutku, bagaiman tidak? Mana ada seorang ibu yang dengan teganya meninggalkan kedua anaknya, yang masih tergolong anak-anak hanya karena materi? Semenjak hari itulah aku memutuskan untuk membenci ibu dan melupakannya. Cobaanku tak berhenti sampai disana, seminggu setelah kepergian ibu dari rumah, rumah yang selama ini kami tempati harus disita oleh bank untuk melunasi semua hutang hutang ayah dan sekarang aku berserta kakak harus rela tinggal dirumah sempit dan kumuh itu. Mau bagaimana lagi ini semua sudah jalan dari Yang di atas.
Semenjak hari itulah kakak harus berjuang mati matian untuk hidup kami berdua. Sejak kakak berusia 14 tahun kakak sudah harus berkerja untuk mencari nafka. Banyak hal yang sudah kakak kerjakan, dari menjual Koran, makanan, menjadi pelayan restoran, dan yang terakhir kakak menjadi guru les privat. Ya kakak memang seorang kakak yang hebat, ia mampu menghidupkan aku di usia dia yang masih tergolong muda itu. Entah apa yang terjadi di dalam hidupku jika tidak ada kakak di sampingku.

“kakak mau kemana lagi? Baru juga pulang kak.” Tanyaku ketika aku melihat kakak sedang bersiap-siap untuk pergi padahal baru beberapa menit yang lalu kakak pulang dari kampusnya.

“kakak mau kerumah ozy, kan kakak mau ngajar dia hari ini.” Jawab kakak singkat.
“nggak makan dulu kak? Makan dulu kak, ntar kakak sakit loh.”
“nggak sempet ik, ini aja kakak udah telat. Kakak makan di jalan aja. Kakak pergi ya, hati-hati dirumah, jangan bukain pintu kalau ada orang yang nggak di kenal.” Pamit kakak. Aku hanya mengangguk pelan. Lagi lagi aku sendiri di rumah, hampir setiap hari aku merasakan hal yang sama seperti ini, sendiri dan sendiri, ya tapi aku tak boleh mengeluh kakak melakukan ini semua juga untuk kehidupan kami berdua. Justru seharusnya aku bangga mempunyai kakak sepertinya.

Matahari mulai menampakkan wujudnya, cahayanya perlahan-lahan menerobos masuk kerumah-rumah warga yang ada di kota ini.
“ kak, aku berangkat dulu ya?”
“hati hati ya dek? Belajar yang benar!” nasehat kak iel, aku mengangguk, lalu mencium tangan kakak..
“siip bos. Dah kakak.. jangan kangen ya, hehehe..”




“ eh eh liat deh anak pencuri udah datang.”
“iya kasian banget deh, udah ayahnya di penjara terus ibunya kabur eh rumahnya di sita.”
Aku mengepalkan tanganku, ingin rasanya aku menampar orang- orang yang selalu menghinaku, tapi urungku lakukan karena sejak tadi obiet yang berada di sampingku menggegam erat tanganku, aku menengok kearahnya, ia tersenyum seolah olah ia berkata padaku. ‘udah biarin aja, anggap aja angin.’, aku membalas senyumannya dan kamipun melanjutkan perjalanan kami menuju kelas tercinta.

Teng.. teng… bel tanda pulang sekolahpun bebunyi nyaring, itu menandakan bahwa jam pelajaran pun telah usia. Seluruh siswa berhamburan keluar kelas mungkin mereka sudah tak sabar berkumpul dengan keluarga mereka, tidak sepertiku. Akh kenapa denganku? Kenapa akhir-akhir ini aku sering mengeluh tak jelas? Nggak sel! Kamu nggak boleh ngeluh! Semangat!!
“ ik, mau langsung pulang atau ke taman?” Tanya obiet ketika aku dan dia sedang berada di tempat parkir.
“terserah aja, aku mah tinggal ikut aja.” Jawabku singkat.

Brum brum brum…
obiet mulai menjalankan mesin motornya itu.

Cittttttttt…
Selang berapa menit kemudian obiet memberhentikan motornya di sebuah taman. Yups taman dimana pertama kalinya kami bertemu. Kami lalu berjalan menuju sebuah pohon yang rindang dan sejuk itu, lagi lagi disinilah kami bertemu untuk pertama kalinya.
“kau masih ingat tempat Ini?” Tanya obiet, aku mengangguk pelan.
“tentu, aku tak mungkin melupakan kejadian itu.” Kataku, obiet tersenyum.
“yups 5 tahun yang lalu kita berjanji untuk menjadi sahabat selamanya.” Lagi lagi aku mengangguk menyetujui perkataannya.
“hahaha.. aku masih ingat betul wajahmu dulu. Seperti ini bukan?” ujar nya, lalu ia mulai memainkan eksperesi wajah yang di buat buat.
“ berlebihan!” kataku pendek
“tidak! Waktu itu wajahmu sangat jelek, bahkan lebih jelek!”
“sudahlah, kalau tujuanmu mengajakku kesini hanya untuk meledekku mending juga aku pulang!” kataku lalu aku mulai berdiri dan meninggalkan obiet.
“kau tahu? Saat itu aku berjanji untuk selalu membuatmu tersenyum.” Ujar obiet lagi. Aku menghentikan  langkahku dan menengok kearahnya.
“aku tak ingin melihat air matamu itu mengalir lagi.”
“cukup saat itu aku melihatmu menangis!”
“kau tak boleh menangis lagi! Karena aku akan membuatmu selalu tersenyum.” Perlahan lahan obiet menghampiriku, lalu ia tersenyum manis.
“jangan menatapku seperti itu. Sekarang kita pulang! Aku tak mau kena marah kakakmu yang galak itu.” Lanjutnya lagi, aku masih terdiam tak tau harus berkata apa.
“ ayo!” perintahnya, lalu ia menarik tannganku menuju motornya.




“kak, oik pulang..” kataku keras. Sepi rumah ini begitu sepi, dimana kakak? Apa masih di rumah anak didiknya atau?

“kak.. kak iel.” Panggilku lagi, aku berjalan menuju kamar kakakku, dan sesampainya disana aku melihat kak iel sedang terbaring, tubuhnya ia tutupi selimut, hingga yang terlihat hanya wajah kak iel saja.
“kak? Kakak kenapa? sakit?” Tanyaku khawatir.
“kakak nggak kenapa kenapa kok. Kakak cuman kecapekan aja.” Jawabnya pelan. Perlahan lahan tanganku menyentuh kening kak iel, astaga suhu badan kak iel tinggi.
“kak iel demam? Kita ke dokter yuk kak!”
“nggak ik, kakak nggak kenapa kenapa sebentar lagi juga sembuh, cuman butuh istirahat aja.” tolaknya.
“bener? oik cuman nggak mau kak iel kenapa kenapa..” Kataku pelan.
“ iya oik, kakak nggak kenapa kenapa kok.” Jawabnya lembut, lalu kakak membelai rambutku pelan.
“oik buatin bubur ya kak?” kak iel mengangguk.

Tuhan ku mohon sembuhkanlah kak febri, aku tak ingin kehilanganya. Karena hanya dialah orang yang ku punya. Aku sangat menyayanginya melebihi apapun di dunia ini.

Berminggu minggu telah berlalu namun kak iel belum juga sembuh justru sebaliknya, kondisinya kini sangat menghawatirkan. Wajahnya pucat pasih, bibirnya membiru, tubuhnya menggigil, ia sering mengeluh nyeri pada tulang dan persendiannya.

“kak, oik mohon kali ini kakak mau kedokter ya? Udah seminggu lebih kakak sakit. aku nggak mau terjadi sesuatu yang buruk sama kakak.” Kataku pelan, sekuat tenaga aku menahan air mataku ini.
“oik, kakak nggak pa pa kok. Ini cuman flu biasa.” Elaknya lagi.

“nggak kak! Kakak tuh sakit jadi kakak harus ke dokter! Sekarang!” kataku tegas.

Leukimia limfositik kronis kini sedang mendera nya, tubuhnya sudah menunjukan gejalanya, nyeri tulang dan persendian, tinggi sampai kadar darah putih yang berlebih ditubuhnya. Leukimia, sel darah putih tidak merespon signal yang diberikan.Produksi  yang abnormal akan keluar dari sumsum tulang dan dapat ditemukan di dalam darah perifer yang dapat mengganggu fungsi normal sel lainnya.

Ya penyakit itulah yang sedang di alami kakak, tubuhnya sudah menunjukan gejala-gejala seperti  itu, kakak sering mengeluh nyeri  pada tulangnya, dan juga sendinya.  Parahnya lagi penyakit yang kakak alami sudah mencapai  stadium akhir.

Tuhan cobaan apa lagi yang Kau berikan  padaku? Belum cukup Kau mengambil semua yang ku punya, apa sekarang Kau  juga ingin mengambil  kakakku , satu- satunya keluarga  yang ku punya?

“ kak, oik mohon kakak mau ya di rawat dirumah sakit?” bujukku lembut, kak iel  terdiam, lalu ia tersenyum manis.
“ percuma ik itu tuh nggak berguna. Cuman buang buang uang aja.”  Jawabnya.
“kak di dunia ini tuh nggak ada yang nggak mungkin, asal kita mau berusaha dan berdoa pasti ada jalannya. Aku  mohon kak.” Aku terus membujuk kakakku, aku tak akan berhenti untuk meminta kepadanya agar ia mau mendapat perawatan khusus.
“ik, itu semua tuh perlu biaya yang banyak dan nggak sedikit! Kita mana punya uang sebanyak itu. Untuk makan aja susah ik.”
“kak, soal uang kakak nggak usah mikirin! Oik  yang akan usaha untuk dapetin uang itu! Yang penting sekarang kakak mau dirawat!” kataku ngeyel. Kak iel lagi-lagi terdiam.
“kak oik mohon! oik pingin terus sama kakak. Oik  nggak mau pisah dari kakak.” Ujarku lagi. Tes satu parsatu air mataku jatuh.






Ruang itu serba putih, dari warna dindingnya hingga ornament-ornamen yang ada di sana semua di dominasi warna putih. Harum obat-obatan sangat kental. Aku mengengam erat tangan kakakku. Berharap dengan itu dapat meringankan bebannya.
“kakak, nggak pa pa kok.” Ujarnya di iringin senyumnya yang khas. Aku mengangguk dan membalas senyumnya.

Hari-hari kakak sekarang di isi dengan terbaring lemah tak berdaya di tempat tidur putih itu. Kondisinya tidak membaik, malah menurutku sangat memperihatinkan. Tubuh kakak sekarang kurus, rambutnya yang dulunya tebal, sekarang kian lama kian menipis, mukanya pucat pasi. Tapi yang aku salut darinya adalah ia tak pernah sekalipun mengeluh, ia tetap tersenyum walaupun aku tahu ia sedang menahan sakit yang luar biasa.

“kakak, oik datang.” Ujarku riang sekuat tenaga aku mencoba untuk tersenyum.
“lihat lihat oik  bawa apa..” lanjutku lagi, kali ini aku menunjukkan sesuatu pada kakak.
“ayam bakar kan?” tebak kakak, aku mengangguk mengiyakan perkataan kakak.
“kesukaan kakak kan?”
“masih ingat?”
“tentu. Makan ya kak?”  perlahan lahan aku menyuapinya.

Tuhan ku mohon jangan pisahkan aku dengannya, beri aku waktu untuk membahagiakannya. Ku mohon.


Sudah beberapa minggu ini kak iel di rawat di rumah sakit, kini giliran aku yang mencari uang untuk hidup kami dan biaya kak iel selama di rawat di rumah sakit. Dengan berbekal  keahlianku untuk membuat berbagai  jenis kue-kue kering, karena itulah aku sekarang berjualan berbagai kue-kue kering. Kadang-kadang kue-kue itu aku titipkan ke kantin sekolahku, tapi  jika libur maka aku harus menjualkan kue ini dengan cara bekeliling komplekku. Melelahkan? Tentu, ini memang sangat melelahkan, tapi mau bagaimana lagi aku mendapatkan uang? Dengan berjualan kue saja tak cukup, untung selama ini kakak menyimpan uang di tabungannya, kalau tidak, entahlah bagaiman cara untuk membiayai pengobatan kakak.
“gimana ik, kak iel udah baikan?” Tanya obiet  saat kami sedang berada di taman rumah sakit tempat dimana  kak iel  dirawat.
“belum ada perubahan biet, justru sekarang keadaan kak iel makin parah.” Jawabku lemas.
“aku yakin kok, pasti kak iel sembuh.” Ujar nya, aku hanya membalas dengan sebuah anggukan dan senyum yang di paksakan.

Ku harap demikian, kak  iel akan cepat sembuh dan aku  bisa berkumpul  lagi denganya. Ya semoga..

Aku berlari sekuat  tenaga, melewati lorong-lorong panjang di rumah sakit ini, jantungku berdetak  tak karuan, keringat dingin mulai keluar dari setiap pori-poriku, apa mungkin? Apa mungkin sekarang saatnya aku akan kehilangan seseorang  yang sangat berarti bagiku? TIDAK! Aku tak mau kehilangannya! TAK AKAN PERNAH MAU!!

Krekk…..

Perlahan-lahan aku membuka pintu kamar dimana kak febri dirawat. Disana sudah ada dokter, 2 orang suster, dan obiet. Ya tadi aku meminta tolong pada obiet untuk menemani kak iel di saat aku sedang menjualkan kue-kue keringku. Namun baru beberapa jam aku meninggalkan kak iel, tiba-tiba saja obiet meneleponku dan memberitahuku, bahwa kondisi kak iel  menurun.

“kak, kakak nggak papa kan?” tanyaku khawatir, aku mengengam tangan kakak erat, dingin tangan kakak begitu dingin!
“kakak, nggak pa pa kok ik. Kakak baik-baik aja, obiet aja noh berlebihan.” Ujar kakak parau. Lagi lagi aku berusaha untuk tidak menangis.
“ik, mau  janji nggak sama kakak?”
“janji? Janji apa kak?”
“janji, kalau kakak udah pergi nanti kamu harus jadi anak yang  tegar, mandiri, nggak cengeng. Janji ya?”
“kakak tuh ngomong apa sih? Kakak tuh nggak akan kemana-mana!  oik nggak akan biarin kakak pergi!” ujarku tegas, lagi-lagi cairan bening ini keluar begitu saja.
“tuh kan mulai cengeng lagi! Baru di bilangin gitu aja udah nangis! Payah akh!”
“lagian kakak ngomong kayak gitu!”
“oik,  kalau saatnya udah tiba juga kakak akan pergi, sekuat apapun kita berusaha, kalau Tuhan sudah menghendaki pasti akan terjadi.” Ujar kakak lembut, aku hanya bisa diam,sesekali  isakkan ku terdengar.
“udah akh, kakak tuh mau lihat kamu senyum, bukan nangis! Jelek tau! Nggak malu apa di liatin calon pacar?” ledek kak iel.
“ikh kakak apaan sih? Malu tau sama obiet!”
“hahah, gitu donk senyum.. jangan nangis. Jelek tau.”
“obiet, sini kakak mau ngomong sama kamu.” Panggil kakak, obiet  mengangguk lalu berjalan pelan dan berhenti tepat di sampingku.
“kamu mau janji sama kakak?” obiet mengangguk yakin.
“janji, kalau kakak udah nggak ada kamu yang jagain oik!”
“kakak apaan sih?” Protesku lagi, entah mengapa aku tak suka mendengar ucapan kakak kali ini.
“oik  itu jiwanya masih labil, gampang ngambek, cengeng lagi. Tapi kakak yakin kamu bisa jaga oik dengan baik.” Lanjut kakak tanpa memperdulikan perkataanku tadi.
“aku janji kak!” jawab obiet yakin.
“bagus kalau gitu. Kakak cuman percaya sama kamu! Jangan pernah ngecewain oik. Sekali aja kamu bikin oik nangis kakak di atas nggak bakal tinggal diam! Ngerti?” ujar kakak lagi, apa sih maksud kakak? Ia seolah-olah akan pergi hari ini juga!

“ oik, kamu juga harus janji sama kakak! Harus jadi anak yang kuat, nggak cengeng lagi!”
“nggak mau! oik nggak mau  janji kayak gitu! Nggak mau!” ujarku keras. Lagi-lagi air mataku jatuh.
“oik, harus janji sama kakak!” perintah kakak, aku mengegeleng sekuat tenagaku
”OIK!” bentak kakakku keras, mau tak mau aku mengangguk.
“kamu itu sudah dewasa, bertindaklah seperti orang dewasa, jangan seperti anak kecil!  Mengerti?” lagi-lagi aku hanya mengangguk. Kakak tersenyum tulus, aku menundukkan kepalaku, berat rasanya melihat wajah pucat kakak.
“walaupun kakak udah nggak ada, tapi kakak akan selalu mengawasi kalian! Ingat itu!” ujarnya lagi.
“kalaupun kakak sudah tak ada, ingatlah kakak selalu ada di hati kalian dan di atas sana. Kakak nggak akan bisa tenang kalau lihat adik-adik kakak sedih, selalu tersenyum untuk kakak ya?” lanjutnya lagi, kini air mataku sudah jatuh, nafasku naik turun tak karuan.

Hening, tiba-tiba ruangan ini menjadi hening tak ada lagi suara kakak, yang terdengar hanya isakkan tangisku. Perlahan-lahan aku menegakkan kepalaku, memberanikan diri untuk melihat kearah kakak. Sekarang yang ku lihat wajah kakak yang pucat, matanya yang tertutup rapat, dan bibirnya yang mengulum senyum.
“KAKAK!!”
Secepat inikah, kakak pergi meninggalkanku? Apa semua orang yang ku sayangi akan pergi satu persatu?

Suasana seperti inilah yang ku takuti sejak dulu. Angin yang bertiup kencang, banyak dedaunan kering yang  jatuh, banyak orang yang berdatangan menggunakan baju serba hitam. Sunyi tak ada satupun suara, yang ada hanya suara  isakan tangis dari beberapa orang disana. Aku memandangi  batu nisan yang bertuliskan nama seseorang, ya batu nisan itu bertuliskan nama kakakku, dan di bawah batu nisan serta gundukkan tanah itulah kakakku di baringkan disana.

“turut berduka cita ya dek!”
“yang sabar ya, semoga arwah kakaknya di terima di sisi Tuhan.” Aku hanya bisa terdiam ketika semua orang memberi ucapan bela sungkawanya. Menurutku semua perkataan mereka tak berguna! Sama sekali tak berguna!

“ik, kita pulang yuk? Sebentar lagi hujan!” tak ku hiraukan perkataan obiet saat ini, aku hanya diam termenung disebelah makam kak iel.
“ik.” Panggilnya lagi.
“kalau mau pulang, pulang aja!!” jawabku dingin.
“ik, kita pulang yuk?”
“sudahku bilang kan? Kalau kau ingin pulang silahkan! Aku masih ingin disini menemani kak febri!”
“ik, kamu nggak boleh kayak gini! Kamu kayak gini malah buat kak iel nggak tenang!”
“tau apa kau? Kau tak sedikitpun mengerti perasaanku! Karena kau tak pernah mengalami yang ku alami sekarang!”  bentakku lagi.
“ik,apa kau  ingat kata kakakmu sebelum ia pergi?” .
“walaupun ia sudah tak ada, tapi  ingatlah kakakmu masih ada disini dan disana.”
Jawab angga sembari menunjuk kearah hatiku dan menunjuk ke arah langit senja itu.
“apa menurutmu Tuhan itu adil?” Tanyaku tiba-tiba. obie mengerutkan keningnya, mungkin ia bingung dengan pertanyaanku tadi.
“Tuhan tak adil padaku! Ia selalu mengambil semua yang ku sayang. Dari ayah, ibu, dan sekarang ia mengambil  kakakku”
“ik, kau tahu? Tuhan itu maha baik, ia menyayangi semua orang di dunia ini. Ingat di balik musibah pasti ada hikmahnya.”

Bertahun-tahun ku lewati  tanpa kakak.  Berat rasanya harus di tinggalkan oleh satu-satunya anggota keluarga yang tersisa. Tapi perasaan itu lama-lama hilang seiring berjalannya waktu terlebih lagi ada obiet  yang menemaniku. Ia selalu ada dikala aku sedang sedih maupun gembira. Kini aku dan obiet sudah tidak lagi menjadi sepasang sahabat. Melainkan sekarang kami berdua  menjadi sepasang kekasih. Ya sudah lebih dari setahun yang lalu, angga menyatakan semua itu padaku, dan dengan mudahnya aku menjawabnya dengan sebuah anggukan.

Kini aku dan obiet  sedang berjalan menyusuri makam demi makam. Suasana di tempat ini tak jauh berbeda sejak 3 tahun yang lalu saat kak iel di makamkan. Langkah kaki kami terhenti disalah satu makam. Ya makam yang tak lain adalah tempat peristirahatan terakhir kak iel.

“kak, oik sama obie datang lagi. Hehehhe.. nggak bosan kan kak? Kak oik kangen sama kakak.. oik kangen isengnya kakak, ketawanya kakak, galaknya kakak. Oik  kangen itu kak. Kak oik udah memenuhi ke inginan kakak. Untuk menjadi seorang  gadis yang kuat nggak cengeng, kakak lihat itukan?” kataku panjang lebar aku mendonggakkan kepalaku, melihat ke arah langit siang itu

Angin tolong sampaikan pesanku. Aku sangat menyayangi  kakak. Aku ingin melihat senyumnya. Tolong sampaikan padanya kabarku di sini akan baik-baik saja, aku tak akan pernah melupakan semua jasa yang telah kakak berikan padaku. Tak akan pernah!!!

--------------------TAMAT-------------------
 

A N L Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea