Sabtu, 13 Juli 2013

P-Chan

di Juli 13, 2013 0 komentar
P-chan!
Kedua tangannya saling berdekapan. Membuatnya terlihat sedang menggigil meskipun ia baru saja melewati musim dingin yang panjang. Kedua bola matanya tak pernah berhenti mengawasi gerak–gerik setiap siswa yang berjalan melewatinya, berpapasan, maupun yang hanya berdiri diam. Ia menggeleng kuat. Bagaimanapun juga, mereka dapat melakukan sesuatu pada dirinya.
“P-chan!”
Gadis itu menahan napas. Kemudian mundur beberapa langkah. Ia semakin mendekap tubuhnya sendiri. Selalu saja seperti ini! Teriakan yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri itu telah menjadi favoritnya. Selama musim dingin, hingga sekarang. Dan hal itu dipicu oleh kedatangan siswa pindahan yang tengah menatap tajam dirinya.
“Ohayou gozaimasu, P-chan!”
Panggilan itu lagi! Hatinya kembali berteriak. Saat semua teman sekelasnya mulai memanggilnya dengan sebutan itu, ia hanya bisa diam. Meskipun mereka bermaksud menggodanya, menertawakannya, atau lainnya, tetap saja tidak ada yang bisa ia lakukan. Semua orang dapat berbuat semuanya terhadap dirinya. Jadi kenapa siswa pindahan ini, tidak?

 “Ohayou, Takahashi-san,” jawabnya malas.
“Musim semi sudah berjalan beberapa minggu. Kenapa kau masih terlihat kedinginan?”
Kedua bahunya terangkat. Untuk kesekian kalinya, ia malas menjawab pertanyaan bodoh itu. Tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan orang yang sudah membuatnya tersiksa selama musim dingin, ia berjalan cepat. Melewati tubuh jangkung itu kemudian berkelit di antara siswa-siswi yang memenuhi koridor hingga sampai di depan kelasnya.
“P-chan! Kenapa… kau… selalu… lari?” tanyanya sambil menggunakan bahu lawan bicaranya untuk menopang keningnya. Pemuda itu tersenyum. Saat ini, ia pasti telah berhasil membuat pipi gadis ini merona.
“Takahashi Daisuke!” teriak gadis itu sambil –sekali lagi- mengambil jarak. Kali ini cukup jauh. Hampir empat langkah.
“Hei, hei.. Kau tidak perlu marah seperti itu. Kau juga tidak perlu susah-susah memanggil nama asliku. Cukup panggil aku, Diva. Seperti yang lainnya.”

Diva menggusap keningnya. Mimik wajah ketakutan dan marah, bergabung menjadi satu untuk melawannya. Menghakiminya, seolah telah melakukan dosa besar pada gadis itu. Ia kembali mendengus. Sekeras apapun ia mencoba untuk mendekati gadis ini, tetap saja tidak berbuah hasil.
“Aku tidak mau melihatmu!”
***
Caranya beradaptasi memang tergolong cepat. Bisa dibilang ia berpengalaman dalam hal adaptasi lingkungan baru. Pekerjaan ayahnya yang menuntut untuk berpindah-pindah negara merupakan sumber dari ilmunya ini. Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, pernah ia tapaki.
Musim dingin lalu merupakan musim tersulit yang pernah ia lalui. Ayahnya yang baru saja dipecat, membuat keluarganya terpaksa kembali ke tanah kelahirannya. Ia juga diharuskan meninggalkan sekolah dan teman baiknya di Australia. Meskipun hal ini sering terjadi padanya, tetap saja, kepindahannya kali ini tidak sebahagia biasanya.
“Kawaii na…”
Kedua gadis itu menarik perhatiannya. Ia menatap dengan ekor matanya. Lonceng kecil yang tengah dipamerkan oleh gadis berambut pendek itu memang terlihat manis. Tetapi jelas bukan untuknya. Manis untuk gadis itu.

Ia buru-buru meluruskan pandangannya. Tetapi detik berikutnya, ia kembali menoleh. Kali ini kedua gadis itu ikut kaget dan menatapnya. Sayangnya pemuda itu tidak peduli. Gadis yang duduk di seberang kedua gadis itu telah mendapatkan semua perhatiannya. Senyumnya mengembang. Satu alasan yang membuatnya bertahan selama musim dingin itu adalah dia. Sasaki Oca.
“Oh, maaf aku tidak tau kalau Diva senpai masih berada di sini,” ucap gadis berambut pendek itu. Ia kemudian melanjutkan. “Ah, aku belum sempat berkenalan langsung. Aku adalah menejer klub baseball. Hajimemashite. Kiyomizu Ayako desu. Douzo yoroshiku.”
“Takahashi Daisukue desu. Douzo yoroshiku.” Diva melihat Oca pergi dari tempat ia duduk dan mulai berjalan keluar menuju gerbang sekolah.
“Ano… Senpai. Bolehkah aku min…”
“Sumimasen. Aku harus pergi sekarang. Mungkin lain kali.”
Diva segera memungut ransel dan berlari mengikuti langkah gadis itu. Langkahnya terhenti ketika hampir mencapai gadis itu. Teriakan sebelum bel masuk berbunyi kembali terputar di otaknya.
Permintaan Sasaki Oca agar menjauhinya memang bukan yang pertama. Gadis itu sudah memintanya pergi berkali-kali. Hanya saja hatinya terlalu keras untuk dilunakkan dengan permintaan bodoh itu.
 “Takahashi-san!”
“Eh? Kau tau… aku… ada di belakangmu?”
“Jangan ikuti aku!” teriak gadis itu tanpa menoleh.
Diva mendesis. Gadis ini benar-benar telah membuat kepalanya semakin penuh. Penuh dengan semua kemisteriusan dan paras cantiknya. Diva bahkan tidak bisa membayangkan jika suatu hari nanti gadis itu menghilang darinya. Ia pasti akan kehilangan dua hal yang membuatnya berpaling dari masalah keluarganya.
Ia kembali melangkah. Pelan, tetapi pasti. Mengikuti langkah Sasaki Oca yang telah keluar gerbang. Diva mengangkat tangan kanannya, seolah tengah meraih rambut hitam Sasaki Oca. Kemudian tersenyum.
“Akan kulakukan apapun hingga loncengmu berbunyi untukku. Tunggu saja, Sasaki Oca.”
***
Dekapannya semakin erat. Sudah berkali-kali ia menggeleng kuat karena tidak bisa menemukan jawaban atas masalahnya. Kedua bola matanya berusaha melirik ke belakang. Tetapi dalam waktu yang sama ia tidak ingin terlihat seperti gadis yang terlalu percaya diri. Gelengannya kembali membuat rambut hitam lurusnya bergoyang. Tidak! Orang yang sedari tadi mengikutinya itu pasti memiliki urusan lain.
Meskipun begitu desiran halus di sekujur tubuhnya tidak terelakkan. Ia paling tidak suka jika diikuti seperti ini. Jantungnya seolah ingin copot setiap ada orang yang berjalan di belakangnya. Membuatnya merasa serba salah hingga tidak dapat melakukan berbagai hal dengan baik. Seperti saat ini, ia bahkan lupa bahwa rumahnya sudah terlewati.
Ia mengambil jalan memutar. Karena tidak mungkin baginya untuk berbalik dan melihat wajah anak bungsu keluarga Takahashi. Tidak! Ia lebih baik membiarkan kaki-kaki jenjangnya untuk berjalan lebih lama.
“Tadaima!” teriaknya setelah sampai di depan pintu rumahnya.
Setelah membuka pintu, kelopak matanya melebar. Sebuah asbak kayu milik ayahnya sedang meluncur ke arahnya dengan cepat. Ia menggigit bibir bawahnya. Berusaha menahan sakit di sekujur keningnya yang berdenyut. Dengan tangan yang bergetar, ia meraba pelipis kirinya. Noda merah di jari-jarinya memicu getaran pada tangannya dengan lebih kuat.

“Oca…”

Gadis itu mendongak. Menatap kedua orang tuanya yang mematung di tempat. Masih bergetar, kakinya mulai melangkah mundur. Oca kemudian berbalik dan berjalan secepat mungkin sambil mendekap tubuhnya yang gemetar. Keputusan yang ia ambil sudah benar. Teriakan-teriakan itu pasti sebentar lagi akan muncul. Dan sebaiknya ia pergi sejauh mungkin.

“P-chan!”

Oca sendiri terkejut saat mendapati Takahashi Daisuke berdiri di depan rumahnya. Tetapi sekarang, hal itu bukan masalah besar. Yang terpenting ia harus pergi secepat mungkin.

“Kau… berdarah?”

Oca tidak menghiraukan ucapan pemuda itu. Langkah kakinya bahkan semakin cepat setelah melewati tatapan tajam itu. Namun belum sempat ia berjalan terlalu jauh, genggaman pada lengannya memaksa kakinya berhenti. Dalam keadaan diam, Oca dapat merasakan tubuhnya semakin berguncang hebat. Tangannya yang mengepal kuat tidak dapat membantunya mengurangi guncangan itu.

Tangan Takahashi Daisuke masih menggenggamnya. Oca buru-buru menarik lengannya. Genggaman itu terlepas. Tetapi detik berikutnya, pemuda itu sudah menarik tubuhnya masuk ke dalam pelukan. Oca semakin gemetar. Ia dapat merasakan lengan Takahashi Daisuke yang melingkar di pundaknya.
“Aku… memang tidak mengerti tentang apa yang sedang terjadi padamu. Tetapi ingatlah satu hal. Aku akan selalu ada untukmu.”

Saat pemuda itu mengusap lembut rambut Oca dan sedikit memainkannya, desiran halus itu kembali menyelimuti Oca. Kali ini terasa lebih hangat. Bahkan semakin hangat. Hingga Oca dapat menyadari bahwa tubuhnya tidak lagi terguncang. Desiran hangat itu telah mengambil alih dirinya. Ia memejamkan mata.

Sejak kapan ia terbiasa dengan Takahashi Daisuke?



karya : 
Aniza Yanuriska Wardani
Debpi Zulpiarni
Adisti Natalia

yang udah baca di mohon kritik dan sarannya ya, jangan cman ngintip2 aja :D

Senin, 01 Juli 2013

Bongkahan Bintang Lusuh Untuknya Part 5b

di Juli 01, 2013 0 komentar
Obiet menutup kedua matanya. Wajah Oik terbayang dalam kegelapan matanya. Seandainya Oik berada disini sehinga ia dapat mengatakan seluruh perasaannya, batin Obiet. Tetapi pada saat yang sama ia juga berharap Oik tidak melihatnya seperti ini, terbaring lemah tanpa melawan kematian yang berada di hadapannya. Begitu Obiet membuka matanya, segala sesuatu yang ia lihat sangat tidak masuk akal.

DOR! 

Mata Obiet tetap terbuka lebar. Dua tubuh langsung terjatuh menghempas jalanan di depan matanya. Yang satu jatuh terduduk, dan yang satu lagi jatuh terjerembap ke jalanan, tergeletak begitu saja. Obiet menatap tubuh yang tergeletak itu dengan menahan seluruh amarahnya. Darah yang seharusnya mengalir dari tubuhnya, kini berpindah pada tubuh yang ada di depannya itu. Kedua tangannya mengepal kuat, tubuhnya sama sekali tidak bisa digerakkan, walaupun ia sangat ingin mengahampiri orang yang menggantikan posisinya.

KLAK! 

Suara revolver yang terjatuh mengalihkan perhatian Obiet kepada tubuh yang jatuh terduduk. Obiet mengamatinya dengan mengesampingkan perasaannya yang campur aduk. Tangan kanannya terbuka, bekas menjatuhkan revolver. Tatapannya mengiasaratkan ketakutan, alisnya terangkat mengartikan keterkejutannya akan kejadiaan yang baru saja terjadi. Melihat ekspresi itu, kepalan Obiet menguat dan amarahnya memuncak dengan sangat cepat. 

“Kau.. Deva.. beraninya kau.. melukainya! BERANINYA KAU MELUKAINYA!!” teriak Obiet, seperti orang gila.


Deva duduk dengan mulut terkatup rapat. Tak menghiraukan setiap makian Obiet yang ditujukan kepadanya. Ia menatap lurus ke arah gadis di hadapannya yang sekarang sudah berada di pangkuan Obiet. Dari punggung gadis itu, terlihat dengan jelas bahwa warna darah telah mengambil alih sebagian dari warna mantelnya. Kemudian pandangan Deva beralih pada revorlver tergeletak di dekat lututnya. Ia menutup kedua matanya, dan mulai terisak sambil memaki dirinya sendiri. 

“AAAARRRRGGGHHHH!!!” lampiasnya.




***


Dingin, menakutkan dan lembab, ya mungkin itu yang bisa menggambarkan keadaan kedua pemuda ini. Dua pemuda yang sama-sama menyukai gadis mungil itu dan bukan hanya itu mereka juga telah menyakiti gadis yang mereka sayangi. Entahlah bagaimana keadaan gadis itu sekarang, sudah dua minggu berlalu sejak kejadian mengerikan itu, dua minggu itu jugalah mereka harus tinggal dalam satu ruangan sempit, dengan beralaskan tikar yang sudah usang. Selama itu pula tak ada yang membuka suara. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Pemuda yang pertama sejak awal ia mendengkam disini selalu saja memandang batu yang berbentuk seperti bintang dengan tatapan yang menyayat hati. Sementara pemuda yang kedua pandangannya menembus tirai-tirai besi itu, tentu saja pandangan itu bukan tertuju pada besi-besi itu, melainkan tertuju pada satu kata, yaitu kebebasan.

“deva, obiet ada yang mencari kalian.” 

Suara berat itu mampu membuat mereka berdua kembali ke waktu yang sekarang. Keduanya secara bersamaan berdiri, dan melangkah mengikuti polisi itu, berhenti secara berbarengan, ketika melihat siapa yang mendatanginya. Awalnya mereka mengira yang menjenguk adalah kerabat dekat –berbeda orang- tapi ternyata bukan, melainkan seorang gadis yang sangat merka rindukan, gadis itu tersenyum manis, berdiri sebentar lalu membungkuk perlahan dan kembali duduk.

“waktu kalian cuman 15 menit.” Ucap polisi itu lagi, dan setelahnya polisi itu meninggalkan mereka bertiga. 

Deva dan obiet terpengkur menatap gadis yang ada didepannya. Gadis yang telah lama mereka nanti, gadis yang mereka lukai, dan gadis yang mempunyai tempat khusus di hati mereka berdua. Tak ada satupun dari mereka yang memulainya, ketiganya tetap diam ditempat mereka. Obiet dan deva yang tetap berdiri, dan gadis itu dengan posisi duduk, memandang mereka berdua secara bergantian, dengan kedua bola mata sipitnya.

“ayo duduk. Waktu kita tidak lama bukan?” ujarnya memecah keheningan. Kedua pemuda itu mengangguk perlahan, dan mengambil posisi di depan gadis itu.

“maaf.” 

Secara bersamaan mereka mengucapkannya. Gadis itu tersenyum.

“ternyata dua minggu bersama, kalian sudah kompak ya?” candanya, berusaha mencairkan suasana. 

Entahlah ia merasa suasana disini berubah menjadi kaku, dan ia sangat membenci itu.

“bagaimana keadaan kalian? Maaf ya aku baru sempat menjenguk kalian sekarang.” Tambahnya lagi, masih tetap dengan senyuman manisnya, dan pipi yang sedikit bersemu merah.

“baik.” 

Lagi-lagi secara kebetulan kedua pemuda itu mengucapkan kata-kata yang sama. Gadis itu tertawa renyah, membuat kedua mata sipitnya itu bertambah sipit.

“ay.. eh maksudku oik, kau sudah sembuh? Kau sudah boleh keluar dari rumah sakit?” ujar obiet sedikit kikuk. Oik tersenyum, lalu mengangguk sedikit.

“seperti yang kakak lihat, aku sudah sehat. Sebenarnya aku sudah keluar dari rumah sakit 3 hari yang lalu. Tapi kak Debo melarangku untuk pergi menjenguk kalian.” Jawabnya riang. 

Obiet menghela nafas lega. Ia tersenyum melihat gadis yang ia sayangi kini sudah sehat, bahkan ia tak menyangka bahwa gadis itu akan menjenguknya, dan bukan hanya itu ia sangat senang ketika senyuman gadis itu kembali. Senyuman yang berhasil membuat jantungnya berdegub lebih cepat dari biasanya. Sementara Deva ia tetap menunduk, tak ada satu katapun yang ia keluarkan. Entah apa yang harus ia rasakan sekarang, senang, takut, atau apa?

“deva..” panggil oik pelan. 

Tak ada sahutan dari deva, yang terdengar hanyalah helaan nafas darinya.

“aku sudah memaafkanmu.” Tambah oik lagi, mendengar kata-kata itu Deva mengangkat kepalanya, memandang oik, dengan tatapan ragu.

“kau tak perlu merasa bersalah padaku. Anggap saja semua sudah selesai, sampai disini.” Katanya lagi. 

Deva dan Obiet kini saling memandang satu sama lain, dan secara bersamaan memandang Oik. Gadis itu tersenyum, sepertinya hari ini gadis itu terlihat berbeda, ia terlihat lebih ceria di banding biasanya.

“aku mencintaimu.” 

Secara tidak terduga Deva akhirnya angkat bicara, dengan 2 kata yang simple, tapi mampu membuat senyum gadis ini hilang.

“sejak awal aku bertemu denganmu, aku sudah merasakan hal itu.” Lanjutnya lagi, memandang gadis itu dengan tatapan yang sulit di artikan.

“bahkan saat kau tak lagi mengingatku, perasaan itu tetap ada, dan akan terus ada, selamanya.” Oik menghela nafas perlahan, ia menarik ujung bibirnya untuk tersenyum.

“terima kasih.” Ujarnya pelan.

“tapi aku..”

“mungkin perasaan aku ke kamu nggak sedalam perasaannya padamu, tapi aku yakin rasa cintaku nggak bakal lebih sedikit daripada rasa cinta dia ke kamu.” Potong obiet cepat. 

Oik dan Deva memandang Obiet kaget. Mereka tak menyangka Obiet  akan mengeluarkan kalimat itu. Oik memejamkan matanya perlahan. Ia tak sanggup untuk memulai semuanya, ia takut sangat takut. Ia tak mau kejadian mengerikan itu terulang, dan ia juga bingung dengan perasaanya sendiri. Siapa yang sebenarnya ada di hatinya? Deva atau Obiet? Ia bangkit dari tempat duduknya, bergegas pergi meninggalkan kedua pemuda ini. pergi meninggalkan kedua pemuda yang mempunyai arti khusus untuknya.



***


Ia mengerjapkan mata sebentar, menarik napas lalu kembali menghembuskannya, bola matanya berputar memandang orang-orang yang sedang berlalu lalang di depannya. Masih tak menyangka akhirnya ia dapat menghirup kembali udara bebas. Bibirnya terus tertarik kesamping, menampakkan senyum yang manis, ia berjalan dengan langkah pasti, bersenandung kecil, sepertinya ia ingin memberitahukan kesemua orang disekitarnya bahwa ini adalah hari yang sangat ia tunggu. Hari dimana ia bisa kembali kepada dunianya, dan hari ia dapat keluar dari dunia yang ia sangat benci, dunia yang mengurungnya selama beberapa tahun lamanya.

Langkahnya terhenti ketika melihat seseorang sedang berdiri tak jauh darinya, gadis itu, gadis yang memakai topi wol berwarna pink, gadis yang sangat ia rindukan, gadis yang telah masuk kedalam hatinya. Ya itu dia sedang berdiri di depan kios kecil, entah apa yang ia cari disana. Pemuda itu kembali melangkah mendekatinya.

“Oik.” Panggilnya pelan, ketika ia sudah berada tepat di belakang gadis itu. 

Oik memutar tubuhnya menghadap pemuda yang kini telah tersenyum kearahnya. Ia mengerjapkan matanya, memastikan bahwa apa yang ia lihat tidak salah. Mengerutkan keningnya, jujur ia sedikit terkejut melihat pemuda itu berdiri di depannya. Sejak kejadian itu Oik memang tidak datang untuk menemuinya, gadis ini masih gamang mengenai perasaannya. Maka dari itulah ia tidak menjenguknya di penjara. Ia hanya ingin memastikan, siapa yang benar-benar ada di dalam hatinya, namun sampai detik ini ia belum dapat memastikan itu semua.

“kak Obiet.” hanya kata itu lah yang dapat keluar dari bibirnya.

“boleh bicara sebentar?” Tanya obiet pelan, ia memandang Oik dengan pandangan memohon, kalau boleh jujur, ia sangat ingin memeluk Oik saat itu juga. 

Gadis itu mengangguk perlahan, berjalan pelan kearah bagku yang berada tak jauh dari kios itu, Obiet mengikutinya dari belakang.

“senang bisa bertemu dengan kakak.” Ujar Oik. 

Ia memandang Obiet dari ujung kaki hingga ujung kepala, tak banyak yang berubah dari Obiet, hanya saja Oik merasa Obiet jauh lebih tenang di banding yang dulu. Obiet tersenyum, kata-kata yang ia rangkai kemarin seakan menguap begitu saja.

“maaf.” Ya hanya satu kata itu yang dapat ia katakan. Jantung Obiet kembali berdegub tak karuan, Oik memandangnya dengan tatapan seolah-olah bertanya “untuk apa?”

“untuk semua kekacauan yang telah ku perbuat.” Oik menghela nafasnya perlahan.

“semuanya sudah selesai kak, tak ada yang perlu dimaafkan lagi, karena sejak dulu aku sudah memaafkan kakak, dan Deva.” 

Akh Deva, Obiet jadi ingat akan sesuatu hal, sebelum Obiet dinyatakan bebas, Deva menitipkan sesuatu untuk Oik. Obiet meronggoh saku celananya, mencari-cari benda kecil itu. Setelah berhasil mendapatkannya, tangannya terulur kearah Oik.

“untukmu.” Ujarnya pelan.

“apa ini?” Tanya Oik bingung, ketika melihat benda kecil yang berbentuk seperti replika bintang,  ia seakan melihat bayangan suatu kejadian yang ia sendiri tak tau kapan itu terjadi. Yang Oik ingat hanya seseorang yang berjanji kepadanya untuk membuat replika bintang. Selebihnya ia tak tahu lagi, bahkan ia juga tak ingat siapa yang berjanji kepadanya.

“deva yang menitipkan itu padaku. Aku tak mengerti apa maksudnya, yang ku tahu benda itu sangat berharga baginya.” Jelas Obiet, seakan ia dapat mengetahui apa yang Oik pikirkan. 

Jadi orang itu Deva? Orang yang berjanji memberikan bintang itu Deva? Batin Oik bingung, ia memandang benda itu sekali lagi, berusaha mengingat kenangan di masa lalunya, tapi semakin ia memaksa kepalanya menjadi sangat pusing.

“kau tahu ik, selama aku di dalam penjara satu orang yang sangat ku harapkan kehadirannya adalah kau.” Akunya pelan.

“maaf kak, aku..”

“setiap ada yang datang menjengukku, aku berharap itu kau. Tapi ternyata bukan. Kau tak datang setelah kejadiaan itu.” Potong Obiet cepat. Ia kini memandang kedua manik bening Oik, berharap ada sesuatu yang tertinggal untuknya. Tapi kedua manik  itu hanya menampakan kebingungan.

“ik aku hanya ingin kau tau, bahwa semua kata-kataku dulu itu memang benar. Aku mencintai mu ik. Sangat mencintaimu. Kau tau betapa takutnya aku saat aku melihat kau tergeletak penuh darah saat itu? Tubuhku seakan kaku, jantungku berhenti berdetak, bahkan aku tak dapat bernafas untuk beberapa saat.” 

Oik menunduk, tak berani memandang Obiet. Obiet menghela nafas perlahan. Ia tersenyum, lalu kembali melanjutkan kalimatnya.

“tapi aku juga tau diri, kau tak mungkin membalas perasaanku, kau menerima permintaan maaf dariku saja, aku sudah sangat senang, jadi..” 

ia mengenggam tangan Oik lembut.

“mulai dari sekarang, aku tak akan menganggu kehidupanmu lagi. Kau tak perlu memikirkan apa yang telah ku ucapkan tadi. Selamat tinggal.” Ujarnya, melepaskan genggamannya, dan beranjak menjauh dari Oik. 

Sementara Oik ia tetap diam tak bergeming, “aku mencintaimu.” Kata-kata itu terus berputar di otaknya, membuat syaraf diotaknya tak dapat berkerja dengan baik. “selamat tinggal.” Dua kata itu dapat membuatnya kembali kepada waktu yang sekarang, saat Obiet mengenggam tangannya tadi, ia merasakan kehangatan dan ia tau dia selalu nyaman ketika berada bersama pemuda itu. Namun saat Obiet melepaskan genggamannya, entah mengapa Oik merasa ada yang hilang darinya.

“kak Obiet..” panggil Oik keras, sayang suara Oik tak cukup keras dibanding suara riuh orang-orang yang sedang berada di dekatnya. Oik berlari mengejar Obiet, ia kini tau siapa orang yang sebenarnya ada di dalam hatinya orang itu adalah..

“kak Obiet!!!!” panggil Oik sekali lagi, Obiet menoleh mencari suara yang meneriaki namanya. 

Tatapan meraka bertemu, Oik berlari kecil menyemberangi jalan, masih dengan senyuman cerianya, ia berusaha menghampiri Obiet. Sementara Obiet ia terus memandang Oik, ia masih tak percaya bahwa Oik kini berlari kearahnya, namun seakan tersadar akan sesuatu, pandangannya beralih kearah mobil, yang sedang melaluju kencang kearah Oik.

“Oik awas!!!” teriaknya kencang. 

Oik menghentikan langkahnya, menengok kearah mobil yang sedang melaju mendekatinya. Ia menutup kedua matanya perlahan, kakinya kaku, tak bergerak sedikitpun dari tempatnya. Ia dapat merasakan ada sesuatu yang mendorongnya, seketika itu ia mendengar suara BUKK yang cukup keras, dan semuanya gelap.



***


Gadis itu mengerang pelan, kepalanya terasa berat sekali, samar-samar ia melihat bayangan hitam sedang berputar, membentuk sebuah cerita yang indah. Di dalam bayangan itu ia melihat seorang pemuda sedang tersenyum padanya, senyum yang selalu ia suka.

“aku suka bintang.” Ujarnya .
 “kau suka bintang? Kalau begitu aku akan memberikan bintang itu padamu.” Jawab pemuda itu yakin. Ia menatapnya dengan mata yang berbinar-binar.
“sungguh?” pemuda itu mengangguk, lalu mengacak-acak rambut gadis mungilnya.

Perlahan-lahan matanya terbuka, setitik cahaya tertangkap, semakin lama semakin jelas, ia melihat sekeliling ruangan yang di dominasi warna putih, wangi alkhol langsung masuk kedalam rongga hidungnya. 

“aku dirumah sakit?” tanyanya pelan, pemuda yang berada di sampingnyapun terbangun ketika mendengar suaru itu.

“kau sudah sadar?” tanyanya, ia menatap Oik dengan tatapan yang berbinar-binar.

“kau tunggu dulu, kakak akan segera memanggilkan dokter.” Lanjutnya lagi, ia beranjak dari tempat duduknya, namun belum ada selangkah ia pergi, Oik menarik tangannya pelan.

“apa yang sebenarnya terjadi kenapa aku bisa ada disini?” pemuda itu mengerutkan kening mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir mungil Oik.

“hei, seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Aku heran sepertinya kau ini hobby sekali membuat jantungku keluar ya?” guraunya, ia kembali pada posisi sebelumnya, memandang Oik dengan tatapan menunggu. Sungguh ketika mendengar kabar bahwa Oik mengalami kecelakaan untuk kesekian kalinya, nafasnya memburu tak karuan, bukan hanya itu detak jantungnyapun bertambah cepat. Oik Nampak sedang mengingat kejadian itu.

“saat itu kak obiet datang menemuiku.” Mulainya, ia menerawang jauh mengingatnya, bibirnya mengulum senyum.

“.. aku sangat senang melihat ia sudah bebas kembali, rasanya seperti mimpi dapat bertemu lagi dengannya.” Ia menghela nafasnya perlahan sebelum melanjutkan ceritanya, senyum yang ia hadirkan kini sudah mulai memudar.

“..ia mengatakan itu, ia mencintaiku. Tapi dengan bodohnya aku tak menjawab perkataannya, aku hanya diam, tapi ketika ia mengucapkan selamat tinggal, entah kenapa perasaan takut itu menyelimutiku.” Ia berhenti, lalu melirik pemuda yang menjadi lawan bicaranya. Pemuda itu tak mengeluarkan kata-kata apapun, ia terus memandang Oik, menunggu cerita itu selesai.

“...saat ia pergi, entah kenapa aku reflek mengejarnya, berlari sekencang-kencangnya, yang ku tau saat itu, aku tak ingin kehilangannya. Ya aku ingin ia terus ada disampingku. Tapi saat aku hampir berhasil mengejarnya, tiba-tiba saja ada mobil yang melaju sangat kencang, dan setelah itu semua menjadi gelap.” 

Ia mengakhir ceritanya dengan setitik air mata yang tertahan disudut mata indahnya. Namun belum sempat ia mengeluarkan cairan bening tersebut, matanya menyusuri setiap ruangan itu. Mencari-cari sesesuatu. Kalau ia tak salah ingat seharusnya kak Obiet ada disana, dan jika memang begitu, kenapa sekarang yang ada hanya kak Debo? Kemana kak Obiet?

“kau mencarinya?” suara itu membuyarkan lamunannya, Oik memandang Debo, lalu mengangguk pelan.

“ia sekarang sedang beristirahat.” Jawab Debo.

“maksud kakak?” Debo tersenyum, lalu membelai rambut Oik.

“kau tahu? Ia benar-benar mencintaimu, ia rela memberikan semuanya untukmu. Bahkan nyawanya sekalipun.” 

Oik kembali mengerutkan keningnya bingung. Sungguh ia tak mengerti apa yang dibicarakan kakak angkatnya ini.

“dan kakak kini tau, ternyata kau membalas perasaannya.”

“kak, dimana kak obiet sekarang? Aku ingin bertemu!” nada suara Oik kini meninggi, entah kenapa ia tak suka mendengar perkataan kakaknya. 

Lagi-lagi perasaan takut kehilangan menyeruak keluar. Ia takut, sangat takut. Kalau boleh memilih ia tak ingin kakaknya melanjutkan perkataannya. Tapi boleh kah ia berharap mendengar kakaknya mengatakan bahwa Obiet baik-baik saja, dan akan segera datang menjenguknya?

“Ia koma ik.” Kata pendek yang di ucapkan kakaknya itu terasa sangat menyesakkan, harapannya kini sirna, nafasnya tercekat, ia tak dapat bernafas dengan normal.

“kakak bercanda kan?” tanyanya parau,’ku mohon katakan padaku bahwa kakak bercanda.’ Batinnya. 

Debo tersenyum, lalu mengeleng perlahan. Oik menutup matanya perlahan, ia berusaha sekuat mungkin untuk tak mengeluarkan air mata itu, tapi ia gagal, air mata itu sudah mendobrak keluar.

“aku ingin bertemu dengannya kak.” Isaknya pelan.

“sekarang?” Tanya Debo bingung, ia memandang Oik sekali lagi, memastikan apa kondisi adiknya ini sudah pulih atau belum. Oik mengangguk cepat.

“nanti saja ya? Kau kan baru sadar.”

“kak, aku mohon, aku hanya takut jika nanti..” 

Oik tidak dapat meneruskan perkataannya ia menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, menahan semua gejolak yang ada. Sedangkan Debo ia Nampak sedang berpikir, ia menunduk tak tega rasanya melihat adiknya seperti ini.

“baik, kakak akan mengantarmu.”putusnya. oik tersenyum mendengar perkataan kakaknya.

“tapi berjanjilah apapun yang terjadi kau harus tetap tersenyum. Janji?” pinta Debo. Oik kembali tersenyum lalu mengangguk menyetujui.



***


Koridor demi koridor mereka lewati. Seperti dugaan Debo tadi bahwa kondisi Oik memang belum pulih, sesekali tubuh Oik limbung, napasnya juga Nampak tak stabil. Untung saja ada dirinya yang selalu cekatan ketika melihat tubuh Oik yang limbung.

“seharusnya aku tak menuruti keinginanmu!” gerutunya. 

Ia memenggang kedua pundak Oik dengan kedua tangannya, menuntunnya menuju kamar rawat Obiet. Oik tersenyum mendengarnya. Entah kenapa ia merasa senang ketika melihat Debo seperti ini.

“terima kasih.” Ujarnya tulus.

“untuk?”

“karena sudah menjagaku dan selalu ada untukku. aku beruntung punya kakak seperti dirimu.” Akunya, Debo menghentikan langkahnya sebentar, ia memandang Oik, lalu kembali melanjutkan langkahnya.

“bukankah itu memang tugas seorang kakak?” tanyanya, Oik tak menjawab pertanyaannya, karena ia tau kakaknya ini tidak memerlukan jawabannya.

“.. kau tau? Sejak awal aku bertemu denganmu, aku berjanji untuk selalu menjagamu dan merawatmu seperti adikku sendiri.” Lanjutnya lagi, Debo membalikkan tubuh Oik cepat, dan memeluknya erat, pelukkan seorang kakak untuk adiknya.

“Aku menyayangimu, layaknya aku menyayangi adik kandungku.” Ia melepaskan pelukkannya, dan menghapus sisa air mata di pipi Oik.

“jangan menangis! Kau jelek kalau seperti itu.” Guraunya, gadis itu mengembungkan pipinya, baru saja ia ingin terharu mendengar perkataan kakaknya tadi, tapi moodnya langsung berubah mendengar perkataan kakaknya. Ia melangkah dengan cepat, meninggalkan Debo. Sementara Debo terkekeh melihatnya.

“hei tunggu! Aku bercanda!” ujarnya, cepat-cepat ia mengejar Oik.



***


Oik menghentikan langkahnya ketika ia melihat seorang wanita sedang duduk di depan kamar rawat Obiet. Tubuh wanita itu nampak bergetar tak karuan, dan disampingnya ada seorang pria yang sedang merangkulnya. Mencoba menenangkan wanita itu. Oik mengenali keduanya, ya ia pernah bertemu dengan mereka beberapa kali, kini tubuh Oik nampak kaku, ia tak berani menyapanya, ia takut wanita itu memakinya. Karena bagaimanapun adiknya berada disini karena menolongnya.

Seakan menyadari kehadiran Oik wanita itu mendongakkan kepalanya. Ia memandang Oik dengan tatapan yang sulit di artikan. Ia beranjak dari tempat duduknya, berjalan mendekati Oik. Setelah berada di depan Oik wanita itu tersenyum manis, lalu segera memeluknya, Oik dibuat terkejut melihatnya. Tadinya ia pikir Sivia akan memakinya dan menamparnya, tapi semua itu salah besar, ia justru memeluknya erat. Sivia menangis di pelukkan Oik, bahunya naik turun tak karuan. Pakaian pasien Oikpun sampai basah dibuatnya.

“terima kasih..” ucapnya disela-sela tangis. 

Oik mengangguk pelan. Rasanya ia tak sanggup lagi berkata atau melakukan sesuatu. Syaraf-syarafnya kini terasa mati. Sivia melepas pelukkannya dan menatap Oik dengan mata yang sudah sembab.

“berkat kau, adikku kembali seperti dulu.” Ujarnya, ia menghapus sisa-sisa air matanya dengan punggung tangannya.

“..setelah kejadian itu Obiet berubah menjadi seseorang yang sama sekali tak ku kenal. Ia seperti orang yang tak memiliki hati. Hatinya telah mati! Tapi ketika kau datang, perlahan tapi pasti sifatnya kembali.” Sivia terdiam sesaat, ia menarik napasnya pelan, kembali mengingat momen indahnya bersama Obiet.

“ia bahkan mau mendengar nasehatku, ia memintaku menyanyikan lagu kesayangannya, ia kembali, kembali menjadi adik kecilku.” Lanjutnya, Sivia menutup kedua matanya, menahan air matanya agar tidak terjatuh kembali.

“..semua itu karenamu. Aku tak pernah melihat adikku seperti ini karena seorang wanita.” 

Pertahanan OIk runtuh, ia kembali menangis mendengar perkataan Sivia. Seharusnya dari dulu ia mengetahui perasaannya, seharusnya ia tau siapa yang ada dihatinya.

“masuklah, Obiet menunggumu.” Sivia mengeser tubuhnya kekiri, mempersilahkan Oik untuk masuk kedalam.

Dengan langkah lunglainya Oik mendekat kearah pintu ruang rawat Obiet, memenggang kenop pintu dengan tangan yang bergetar, napasnya kembali tercekat, ia berusaha mati-matian untuk tidak menangis. Ia tak mau membuat kondisi Obiet bertambah buruk karena air mata sialan itu.

Ruangan itu tidak terlalu besar, namun cukup nyaman, ditengah-tengah ruangan pemuda itu terbaring, matanya tertutup rapat, disekelilingnya terdapat beberapa alat dan selang, yang Oik sendiri tidak tau namanya. Ia melangkah mendekatinya, kali ini Oik berhasil untuk tidak lagi mengeluarkan air matanya. Ia tersenyum hambar ketika sudah berada di dekat Obiet.

“aku datang.” Ujar Oik kikuk, ia menghela napas pelan, menatap Obiet dengan mata nanarnya. 

Kenapa saat ini ia sangat sulit untuk bernapas? Kenapa begitu menyesakkan? Tak ada suara dari Oik, ia tak bisa lagi untuk berbicara, ia takut sangat takut, sekarang yang ia lakukan hanya menatap Obiet, berharap Obiet akan segera membuka matanya, dan tersenyum kearahnya. Senyum yang selalu membuat hatinya tenang. Tapi kini semua terbanding terbalik, Obiet hanya terbaring kaku, dengan perban yang ada dikeningnya.

“kenapa kau melakukannya?” suara parau Oik terdengar lagi, kini Oik berhasil menahan air matanya, ia tak menangis lagi. 

Pertanyaan Oik hanya dijawab oleh bunyi monitor yang ada disebelah Obiet. monitor itu menampilkan garis-garis bergelombang tidak berutaran.

“ingatanku telah kembali, kau tau itu?” Oik kembali bersuara, ia mengenggam tangan Obiet, dingin ya itu yang dirasakan Oik ketika menyentuhnya.

“dan sekarang aku tau siapa yang benar-benar ada dihatiku. Disini.” Oik menarik tangan Obiet dan menaruhnya tepat di dada Oik, merasakan debar jantung Oik yang cepat.

“orang itu kau.” Akunya, ia tersenyum manis, lalu mengusap wajah Obiet pelan.

“aku mencintaimu, sangat mencintaimu.” Ia mencium kening Obiet lembut, dan seketika itu juga jari tangan Obiet bergerak, matanya mengeluarkan cairan bening, Obiet menangis.

“kau mendengarku?” Tanya Oik, ia menatap Obiet dengan tatapan berharap, berharap Obiet akan kembali membuka matanya. 

Namun pertanyaannya justru dijawab oleh suara yang memekakan telinga, suara dari monitor, kini di monitor itu tidak tampak lagi garis-garis bergelombang, melainkan garis-garis lurus. Napas Oik memburu tidak karuan, seluruh syarafnya kini terasa mati.

“kak Obiettttttttttt!!!!!”teriaknya seperti orang tak waras, setelah itu Oik merasa tubuhnya lemas, ia terjatuh tepat di samping kasur Obiet, menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Air mata yang telah lama ia keluar mengalir membasahi pipinya. Tak ada lagi yang dapat dilakukannya, dunianya tersa hampa, ia tak dapat mendengar apapun, ia hanya dapat melihat bayangan Obiet yang tersenyum padanya, melambaikan tangan kearahnya, perlahan semua bayangan itu hilang, kesadarannya menurun, ia hanya mendengar teriakan kakaknyya memanggil namanya.

Bolehkah aku ikut bersamamu?



***



 angin berdesir perlahan, menerbangkan tiap-tiap benda yang ada di sekitarnya. Suasana disini sangat sepi, jarang sekali ada orang yang berlalu lalang, hanya terlihat beberapa orang yang sedang duduk diam dengan pandangan kehilangan di depan gundukan tanah.

Seperti halnya yang di lakukan mereka, diam termenung dengan pikiran mereka sendiri, membiarkan angin mengusap wajah mereka.

Pemuda itu terus memandangnya, entah kenapa ketika melihatnya seperti ini hatinya terasa sakit.

"apa kau akan seperti ini jika aku yang pergi?" ia mulai memberanikan dirinya, gadis itu meliriknya tak mengerti. 

"apa maksudmu?" tanyanya, pemuda itu tak menjawab, ia mendongakkan kepalanya, menutup kedua matanya, dan memasukkan tangan ke dalam saku celananya. 

"jujur saat aku mendengar bahwa ia telah pergi untuk selamanya hati ini begitu gembira. Tapi" ia membuka perlahan, menatap gadis itu lembut. "ketika aku melihatmu seperti ini hatiku justru menjerit dan jika aku boleh memilih aku lebih bahagia jika kau tersenyum saat bersamanya." lanjutnya lagi. 

Semua kata-kata yang ingin ia keluarkan kini sudah keluar dengan lancar. Dulu ia sangat berharap ketika ingatan Oik telah kembali ia dapat memilikinya, tapi kini harapannya hancur, karena oik ternyata lebih memilih Obiet. 

"maaf" ujar Oik pelan. 

Ia menunduk tak berani membalas tatapan mata Deva. 

"apa semuanya telah berakhir, sampai disini? Tak adakah cela untukku?" tanyanya parau, suaranya bergetar, bahkan Deva bisa mendengar detak jantungnya sendiri. 

"dev, dari dulu sampai sekarang aku tetap menyayangimu. Perasaan itu tak berubah, bahkan saat aku tak mengingatmu." aku Oik. 

Ia sekarang mendongakkan kepalanya menatap kedua mata Deva. 

"lalu?" 

"tapi perasaan itu tak lebih dari perasaan sayang adik terhadap kakaknya." 

Deva menghembuskan napasnya berat. Seharusnya ia tau, seharusnya Deva sudah mengetahui ini dari awal. Oik hanya menganggapnya sebagai kakak tak lebih dari itu. Tiba-tiba saja Deva merasakan sesuatu menyentuh pundaknya, ia menoleh ke arah Oik, gadis itu kini sedang bersandar di pundaknya. Sejenak Deva merasakan darahnya mengalir begitu cepat, napasnya memburu tak karuan. 

"aku senang melihatmu keluar dari tempat menyeramkan itu." Oik menutup kedua bola matanya, membiarkan angin menerpanya. 

"terima kasih untuk semuanya."



Epilog

Hidup dan mati. Keduanya hanya terpisah oleh kaca setebal satu millimeter. Bisa pecah sewaktu-waktu. Terutama pada saat si Penjaga Kaca itu memutuskan untuk merusaknya. Bahkan si Empunya Nyawa pun tidak dapat menolaknya. Namun bertahan di dekat kaca itu juga tidak menyenangkan. Tetapi di sinilah ia. Jangan terlalu banyak bertanya mengapa ia berada di sini. Karena jawabannya terdapat pada layar yang ada di daerah ‘hidup’. 

Semua memorinya terputar di sana. Baik dan buruk. Benar dan salah. Senang dan sedih. Tidak terkecuali kejadian terakhir yang ia lihat. Cairan kental merah di atas aspal, ban mobil, dan gadis itu. 

“Bisakah film itu diputar mundur?” tanyanya pada si Penjaga Kaca. 

Si Penjaga Kaca menggeleng, membuat jubah dan tudung putihnya bergoyang. 

“Hanya si Pemilik yang bisa melakukannya.” Ia mendengus. 

Jika memang hanya dirinya yang bisa memutar kembali, maka pertanyaan terpenting untuk saat ini adalah bagaimana caranya. Kini, layar itu bersih. Haruskah ia memohon? Atau ia memerlukan remot dan menekan tombol rewind? Ia kembali menoleh pada si Penjaga Kaca. 

"Bagaimana caranya? Tolong beri tau aku… Aku ingin memastikan sesuatu.” 

“Hanya si Pemilik yang bisa melakukannya.” 

“Tolonglah…” 

“Hanya si Pemilik yang bisa melakukannya.” 

“Tolong putar ulang kejadian terakhir itu!” teriaknya, frustasi. 

Layar di daerah ‘hidup’ kembali memutarkan kejadian yang ia minta. Ia berjalan mendekati layar. Namun terhenti karena kaca yang mengurungnya. Napasnya memburu saat melihat sosok gadis yang sama sekali tidak memandangnya. Air matanya turun. Jika didengarkan ulang, perkataannya cukup menyakiti hatinya sendiri.

“…yang telah kuucapkan tadi. Selamat tinggal.” 

Deretan pertokoan mendominasi layar. Beberapa orang dengan ekspresi wajahnya masing-masing berjalan mendekat dan melewatinya. Perlahan namun pasti, persimpangan jalan semakin dekat. Beberapa orang di sampingnya ikut berjalan menyebrangi zebra cross.

“Kak Obiet!” 

Sudut pandang film itu memutar, kembali menunjukkan zebra cross dan tiang lampu merah. Juga gadis itu. Berlari ke arahnya seolah tidak ada waktu lagi. Film itu menyorot sisi kanannya. Sebuah mobil hitam melaju kencang. Gadis itu kembali terlihat. Masih berlari, bahkan semakin cepat. 

“Oik awas!”

Napasnya tertahan. Oik berhenti tepat di jalur mobil hitam. Film itu kini bergoyang, tidak fokus. Tetapi ia bisa melihat gadis itu semakin dekat dan masih mematung. Ada guncangan cukup keras setelah itu. Sekilas ia melihat Oik tersungkur di dekat trotoar. Guncangan yang lebih hebat terjadi. Kali ini ia tidak dapat melihat apapun. Layar itu gelap. Obiet berlutut, kemudian tertawa parau. Tidak, seharusnya ia bersyukur karena Oik selamat. 

Setidaknya bukan Oik yang merasakan kerasnya bemper mobil itu. Ia mendongak, kembali melihat layar yang kini menampilkan cahaya yang buram. Samar, ia dapat melihat cairan merah kental. Ban mobil yang terllihat sangat besar. Termasuk Oik yang tak bergerak. Detik berikutnya, layar itu meredup. Si Penjaga Kaca menghampirinya. Sebuah tongkat berwarna perak dengan ujung runcing berada di tangannya. Ia menghentakkan tongkat itu ke lantai putih dan membuat Obiet berdiri dalam sekejap. Obiet menatapnya, kemudian beralih ke daerah hidup.

“Apa sudah saatnya?” tanyanya.



****



Karya:

Aniza Yanuriska Wardani

Debpi Zulpiarni

Adisti Natalia
 

A N L Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea