“Warm Winter”
***
Dua kopernya dan tiga milik orang tuanya telah masuk ke
dalam bagasi van. Seperti yang telah dikatakan ayahnya, sebentar lagi mereka
akan pulang ke rumah lama mereka. Rumah tradisional di salah satu sudut Kyoto.
Jujur, Ia bahkan tidak dapat mengingat bagaimana bentuk rumah itu sekarang.
Entah sudah lapuk, atau bahkan telah rata oleh tanah. Rumah tradiaional Jepang
terbuat dari kayu, bukan?
Ia
tidak menyalahkan kedua orang tuanya. Tidak. Karena tidak ada yang dapat ia
tuduhkan pada mereka. Bukan karena betapa sering Ayahnya dipindah-kerjakan ke
berbagai negara. Bukan juga akibat tempat bersekolah yang selalu berganti nama
setiap tahun ajaran barunya. Bahkan bukan karena berita pemecatan yang datang
tiba-tiba saat Ia baru pulang bermain di Melbourn. Tidak ada yang dapat Ia
salahkan.
"Dai-kun," panggil seorang wanita
berumur hampir empat puluh. "Kita harus bergegas. Naiklah."
Setelah
mengangguk kecil, pemuda itu melangkah masuk ke dalam van hitam. Ia melihat
ayahnya telah duduk di samping pengemudi bermata sipit. Ini bukan pertama
kalinya Ia melihat pria itu. Ayahnya pernah menunjukkan sebuah foto saat mereka
sedang bersantai di balkon sambil menikmati pemandangan berkabut London.
Namanya Hayashi Kenichiro. Sahabat Ayahnya, sekaligus tetangga mereka dulu, dan
sekarang.
"Aku
tidak tahu bagaimana cara berterima kasih padamu, Ken," ujar Tuan
Takahashi memulai.
Kenichiro
mengibas-kibaskan tangannya. "Kau ini! Aku sudah menganggapmu sebagai
saudaraku sendiri. Jadi tolong jangan merasa sungkan padaku."
Detik
berikutnya, kedua sahabat lama itu tenggelam dalam tawa renyah. Nyonya
Takahashi menggeser tubuhnya untuk masuk ke dalam van dan duduk nyaman di
sebelah putra tunggalnya. Mendengar tawa suaminya merupakan hal terindah dalam
satu minggu ini. Karena sejak berita pemecatan itu, suaminya tidak pernah lagi
menyempatkan diri untuk tersenyum. Apa lagi untuk tertawa.
"Dai-kun, daijoubu
desuka?" ( daijoubu desuka : kau baik-baik saja?)
"Daijoubudesu," jawab pemuda itu
pelan. Terlihat jelas tidak ada satu semangat pun dalam dirinya.( Daijoubudesu : baik)
"Takahashi Daisuke, dengarkan Okaasan." Perintah halus itu membuat pemuda di sampingnya
menoleh. ( Okaasan : Ibu)
"Kau adalah pemuda terpintar yang pernah Okaasan temui. Kau mampu mengejar segala
ketertinggalanmu dan dengan mudah menjadi peringkat pertama. Wajahmu adalah
anugerah terbesar yang kau miliki. Pasti kau akan menemukan gadismu di sini.
Jadi kumohon, jangan terbebani dengan masalah keluarga."
Tidak
ada jawaban dari Daisuke, pemuda itu. Memang tidak ada yang dapat Ia jawab.
Keyakinannya pada perkataan Ibunya hampir mendekati nol. Terutama tentang
gadis. Ya. Pergaulan di beberapa negara yang Ia kunjungi memang tergolong
bebas. Bahkan setiap tahun atau setiap Ayahnya dipindah-kerjakan, sesering
itulah Ia menjalin hubungan. Dengan gadis yang berbeda pula. Jadi kecil
kemungkinan untuknya diterima dalam tradisi kuno, seorang pria hanya memiliki
seorang wanita.
"Dai-kun."
"Mereka
tidak akan menerimaku, Okaasan. Aku
ini playboy. Lagi pula aku tidak akan
membiarkan diriku merusak gadis-gadis di sini."
Daisuke
memalingkan wajah, sedang tidak ingin membahas kata 'gadis'. Ia menatap jendela
van yang mulai berembun. Salju yang tiba-tiba turun memang sedikit
menjengkelkan. Terutama karena hawa dingin menjadi lebih dingin dari biasanya.
Dan Ia membenci saat tubuhnya tidak dapat berkutik karena tebal mantel yang Ia
pakai. Itu sebabnya Daisuke membencinya. Musim salju tidak akan pernah hangat.
Nyonya
Takahashi mengusap lembut pipi anaknya. "Lihatlah dirimu, Dai-kun. Mereka, gadis-gadis itu, pantas
mencintaimu. Kau menjelek-jelekkan dirimu sendiri untuk melindungi mereka. Jadi
siapa yang dapat menahan pesonamu itu?"
Kedua
bola mata Daisuke masih terfokus pada jalanan di luar yang mulai tertutup
salju. Jika melihat berita ramalan cuaca yang Ia tonton saat menunggu
kedatangan Hayashi Kenichiro, benar, maka ini adalah salju pertama di Kyoto.
"Ah!
Turun salju rupanya!" pekik Nyonya Takahashi senang. Wanita itu memegang
tangan Daisuke. Meminta sedikit perhatian dari anak laki-lakinya itu. "Apa
kau tahu satu cerita tentang salju pertama?"
Daisuke
menoleh. "Hai," jawabnya
singkat. (Hai : iya)
"Saat
itu Otousan benar-benar mempercayai
mitos palsu yang dikatakan temannya. Gadis pertama yang kau lihat dikala salju
pertama turun adalah jodohmu. Begitu bunyi mitos itu. Tetapi mitos itu
benar-benar terjadi." ( Otousan : ayah)
Daisuke kembali menghadap jendela. Ia sudah pernah
mendengar asal-usul dirinya berkali-kali. Mitos, pohon sakura, syal biru laut,
juga sarung tangan rajutan berwarna merah. Ya. Bagaimana bisa kehidupan
percintaan kedua orang tuanya sangat mudah dan menyenangkan? Dirinya sendiri
harus rela putus berkali-kali dan belum menemukan potongan puzzle-nya.
"...
di bawah pohon Sakura yang tertutup salju. Kami bertemu karena syal biru lautku
terbang."
Bola
mata Daisuke melebar. Seorang gadis sedang berlarian di trotoar. Syal biru laut
bergaris yang melilit leher gadis itu menjadi pusat perhatiannya. Warna biru
laut yang sama dengan syal favorit ibunya. Bahkan modelnya hampir mirip. Ia
lantas bertanya dalam hati. Tidak ada hal sama yang terjadi dua kali, bukan?
Saat
van mulai mendahului gadis itu, Daisuke mengubah pemikirannya. Dari kejauhan,
pemuda itu dapat melihat eloknya paras gadis syal biru itu. Semburat kemerahan
di hidung dan pipi chubby-nya sungguh
menggemaskan. Pesona khas Asia yang tidak Ia lihat dan dapatkan dari semua
kekasihnya dulu.
"...
mulai berkencan di hari berikutnya. Otousan
menyatakan cinta hari itu juga. Ah!
Aku sangat menyukai bagian itu! Bagaimana menurutmu, Dai-kun? Tidakkah kau ingin merasakan cinta semanis itu?"
Anggukan
pelan Daisuke menjawabnya. Benar. Tiba-tiba pemuda itu berharap pertemuan
romantis Ayah dan Ibunya dapat terulang pada dirinya. Bahkan alur cerita hingga
penutup, Daisuke menginginkan kesamaan. Antara dirinya dan gadis bersyal biru
itu.
"Ken-san! Hentikan mobilnya!" teriak
Daisuke.
"Oh,
hai," jawab Kenichiro ragu.
Setelah
van berhenti, Daisuke keluar dan berlari menyusuri trotoar. Jika pandangannya
beberapa menit yang lalu, benar, gadis itu masuk ke dalam toko roti ini. Tanpa
membuang banyak waktu, Ia membuka pintu toko. Bunyi nyaring lonceng dan harum
roti yang menyeruak, menyambutnya. Manik kecoklatan miliknya tidak menemukan
gadis itu.
"Ohayou gozaimasu! Ada yang bis-" ( Ohayou gozaimasu : selamat pagi)
"Apa
kau melihat gadis bersyal biru masuk ke sini?"
Pelayan
itu menggeleng. "Iie. Saya tidak
nelihatnya." (Iie : tidak)
"Kalau
begitu, terima kasih."
Daisuke
keluar dan menutup pintu itu dengan lemas. Sepertinya Tuhan telah memutuskan
bahwa jalan hidupnya berbeda dengan kedua orang tuanya. Ia mendesah. Tangannya
terangkat dan menengadah ke atas. Menyambut butiran putih yang jatuh perlahan.
Salju pertama di Kyoto, Ia bertemu dengan seorang gadis. Jodohnya? Ya. Tentu
jika Tuhan mengijinkan mereka bertemu lagi.
"Dai-kun! Apa yang kau lakukan?! Cepat masuk
ke dalam van! Ugh! Dingin sekali!"
***
“Dai-kun! Apa
yang kau pikirkan?” Nyonya Takahashi tampak gusar melihat anak laki-lakinya
yang tak kunjung merespon. “Masih memikirkan toko roti itu? Oh, ayolah, Dai-kun. Kita sudah sampai.” Wanita itu
hanya bisa mendengus kesal dan melirik suaminya sebentar seperti meminta
bantuan.
“Dai-kun! Cepat bantu turunkan barang!” perintah
Tuan Takahashi.
Mau
tidak mau, Daisuke menggeret koper dengan malas. Ia masih memikirikan gadis
bersyal biru yang melintas di jalanan dekat toko roti itu. Dan udara dingin
menyeruak masuk ke dalam tubuhnya secara tiba-tiba semakin membuatnya jengkel. Ia
mengutuk. Tidak adakah kesempatan untuk menikmati sedikit, sedikit saja, hari
tanpa merasakan tulang-tulang yang menggigil?
Rumah
yang sudah sangat lama tidak Ia kunjungi ini masih bisa dibilang layak untuk
ditempati. Setidaknya, kayu-kayu ini masih kokoh berdiri. Daisuke mengedarkan
pandangannya. Kamar. Ia mencari letak kamarnya. Apakah ada perubahan? Sepertinya
tidak mungkin. Hanya sarang laba-laba dan debu-debu yang menempel di setiap
ruangan yang Ia rasa sebagai buah kealpaan pemilik rumah.
Daisuke
menggeser pintu yang Ia yakini sebagai kamarnya. Gotcha! Masih terlihat sama, hanya jumlah debu saja yang
membedakan. Pemuda itu mendesah saat melihat bentuk kamarnya. Dinding-dinding
tipis, nyaris tidak bermateri. Tidak aman, memang. Dan pasti sangat dingin di
musim dingin seperti sekarang ini.
Diletakkannya
koper dengan ukuran sedang ke salah satu sudut lemari multifungsi. Terlihat
sebuah kasur lipat beserta selimut yang cukup tebal bergulung di dalamnya. Di
saf atas terdapat beberapa pakaian yang terbungkus rapi di dalam kardus.
Pakaian lamanya.
Daisuke
bergegas merapikan kamar dan menyusun beberapa perabotan yang mungkin masih
bisa Ia gunakan. Memang tidak memerlukan waktu yang lama jika hanya membereskan
kamar kecil berukuran 3x3 itu. Tetapi tetap saja. Hari ini akan jadi hari yang sangat melelahkan.
“Dai-kun!
Jika kau sudah selesai di sana, bisa kau kemari?!”
Daisuke
mendengus. “Hai!”
Nyonya
Takahashi merapikan tatanan meja makan. Ini memang sudah lewat dari jam makan
siang. Tapi Tuan Takahashi masih saja sibuk merapikan halaman luar yang sudah tertutup
salju setinggi mata kaki. Sehingga, sebagai istri yang baik, Ia harus
menyajikan semua makanan ini sebelum suaminya selesai.
“Oh,
Dai-kun,” serunya terkejut saat
melihat Daisuke yang berdiri diam di depan pintu kamarnya. “Sudah berapa lama
kau berdiri di sana?”
Daisuke
tidak menggubris perkatakan Ibunya. Ia masih terlalu sibuk melihat sekeliling
rumah berbahan kayu itu.
“Dai-kun! Ada apa dengan pikiranmu? Mengapa
kau sering melamun belakangan ini?” Tidak mendapat jawaban dari anak
tunggalnya, membuat Nyonya Takahashi mendesah. “Sekarang bisakah kau fokus
sebentar? Cepat panggilkan Ayahmu. Makan siang sudah siap.”
***
Berulang kali ia merapatkan mantel
merah tebalnya, udara kali ini begitu tak bersahabat baginya. Butiran-butiran
putih itu kembali turun, dan tak jarang mengenai pipinya yang mulai memerah. Ia
menjejalkan tangannya kedalam saku mantelnya, sedangkan kedua mata bulatnya
berkeliling mengawasi tiap-tiap orang yang bejalan di sekitarnya. Ia mendengus
kesal, membuat mulutnya mengeluarkan asap putih.
Bibir mungilnya menggerutu tak
jelas, setiap kali ada orang yang tak sengaja menabraknya. Apa suasana di Nishiki Market –pertokoan di kyoto-
selalu penuh sesak seperti ini, bahkan saat musim dingin itu tiba? Ah, sial! Ia
benar-benar tak suka berada di tempat keramaian seperti ini. Kalau saja bukan
karena Ibunya yang memaksa untuk menemani, tentu Ia akan lebih memilih merikuk
di bawah selimut tebalnya!
“Oca-chan jangan menatap mereka seperti itu! Tidak sopan!” Wanita
berumur sekitar tiga puluhan itu nampak kesal, melihat kelakuan putrinya.
Oca menatap Ibunya acuh. “Okaasan tahu sendiri aku paling tak suka berada di
tempat seperti ini!” umpatnya pelan.
“Biasakan dirimu, Oca-chan! Sampai kapan kau akan mengunci
dirimu rapat-rapat?!” Ibunya menggeleng-gelengkan kepalanya, tak percaya bahwa
putrinya sama sekali belum merubah pandangannya tetang orang lain. “Tidak semua
orang itu jahat, Oca-chan!” Oca
mendengus pelan, menanggapi perkataan ibunya itu.
“Aku tak pernah mengatakan bahwa
semua orang itu jahat! Aku hanya mewaspadainya! Bukankah kejahatan itu ada
dimana-mana?! Memangnya aku salah?!” ujarnya pelan.
Ia kembali mengedarkan pandangannya
ke segala penjuru. Menyusuri tiap-tiap sudut Nishiki Market. Menurut Oca, tak ada yang salah dari dirinya. Ia
hanya tak mau ada orang jahat yang ingin mencelakan dirinya! Ya hanya itu saja!
Tak salah, bukan?!
“Kau ini terlalu banyak menonton
berita kriminal, Oca-chan!”
Lagi-lagi perkataan itu yang ia
dengar. Entah sudah beberapa kali Nyonya Sasaki berkata seperti itu untuknya.
Oca tak menjawab perkataan ibunya. Bukannya tak bisa membalasnya, hanya saja, ia
tak mau perdebatan ini bertabah panjang. Perdebatan adalah hal yang paling ia
benci.
“Oca-chan kemari! Bantu Okaasan
memilihkan hadiah untuk Otousan!”
panggilan dari ibunya itu mampu membuat Oca menghentikan aktifitasnya. Ia
mengangguk beberapa kali, lalu berjalan mendekati ibunya, dan mulai memilih
beberapa barang yang ia rasa cocok untuk di berikan kepada ayahnya nanti.
“Okaasan, sepertinya ini cocok untuk Otousan!” ujar Oca.
Ia menunjukan setelan Montsuki dengan Hakama dan Haori
yang didominasi warna hitam kepada ibunya. Nyonya Sasaki itu nampak mengamati,
memperhatikan secara lebih detail dan seksama. Beberapa menit kemudian ia
mengangguk, menjetujui saran dari putrinya.
“Kau
memiliki selera yang bagus Sasaki Oca!” pujinya, lalu mengacak-acak poni Oca
pelan.
***
"Haruskah
aku ikut, Otousan?"
Pria
yang berdiri di depan cermin itu berhenti melakukan kegiatannya. Merapikan dasi
kupu-kupu. Ia lantas berbalik dan menatap anak laki-lakinya, penuh rasa syukur.
Dengan keadaan mereka sekarang, Ia tidak pernah mendengar ucapan protes dari
anaknya. Ya. Terakhir kali Ia mendengar kata protes adalah saat mereka masih
berada di bandar udara Adelaide satu minggu yang lalu.
"Entahlah,
Dai-kun. Ini minggu pertama Otousan bekerja."
Ada
raut kecewa dari pemuda tampan itu. Rambut yang baru saja Ia sisir rapi,
kembali berantakan. Ini salah satu kebiasaannya ketika sedang kecewa.
Mengacak-acak rambutnya sendiri.
Tetapi
kali ini Ia tidak boleh merajuk seperti biasanya. Kondisi ekonomi keluarganya
memang masih tercukupi. Hanya saja, Tuan Takahashi, Ayahnya, tidak suka
berpangku tangan lebih lama. Begitu juga dengan dirinya. Ia ingin meringankan
pekerjaan ayahnya untuk hari ini. Karena menjadi pelayan disebuah acara tidak
sesusah menjadi sopir pribadi, bukan?
"Otousan, aku hanya ingin membantu. Lagi
pula ini hanya menjadi pelayan. Aku pernah bekerja sebagai pelayan restoran
saat kita tinggal di Inggris dulu," tutur Daisuke, mencoba meyakinkan Ayahnya.
Tuan
Takahashi mendesah. "Dai-kun.
Acara itu memang besar dan ada banyak tamu di sana."
"Itu
sebabnya Otousan diminta menjadi
pelayan juga, kan? Itu artinya mereka membutuhkan tenaga ekstra. Lagi pula ini
musim dingin. Akan lebih banyak pekerja malas yang berkeliaran dibandingkan
pekerja yang tekun seperti Otousan.
Juga aku."
Tuan
Takahashi tersenyum melihat reaksi putranya. Mau tidak mau, Ia menyetujui
pendapat Daisuke. Bukan hanya karena pendapat yang masuk akal, permintaan
terakhir atasannya kemarin menjadi sebuah pertimbangan lain. Harus ada
setidaknya dua puluh pelayan di acara itu. Dari jumlah pelayan yang ada jika
ditambah dengan dirinya, maka masih kurang tiga.
"Otousan, ijinkan aku ikut ke acara
itu."
Tuan
Takahashi menjawab dengan satu anggukan kecil. "Hai. Tetapi jangan sampai membuat masalah, Dai-kun. Wakarimasuka?"( Wakarimasuka : mengerti?)
Dengan
semangat, Daisuke menjawab. "Wakarimasu!"( Wakarimasu : mengerti)
***
Gadis itu merapatkan mantel peach miliknya. Hal ini
memang gila. Tidak pernah terbayang dibenaknya bahwa Ia akan menghadiri sebuah
pesta di saat salju meluncur deras. Jika bukan karena paksaan ibunya, tubuhnya
tidak perlu menggigil seperti ini. Tetapi mau bagaimana lagi? Ia sudah
terlanjur berdiri di depan pintu besar kediaman Ayahnya.
"Oca-chan, ayo masuk," ajak ibunya
dengan suara lembut.
Seperti
yang sudah Ia duga sebelumnya, selelah pintu besar itu terbuka, ada banyak tamu
yang memenuhi ruangan. Pakaian pesta yang mereka kenakan, khususnya untuk tamu
wanita, tergolong minim. Mereka seolah tidak peduli dengan hawa dingin yang
menusuk tulang.
"Lepaskan
mantelmu," tutur Nyonya Sasaki yang telah menanggalkan mantel hitamnya
lebih dulu.
Oca
menggeleng kuat. "Okaasan. Aku
tidak suka dingin. Bolehkah aku memakai mantelku?"
Ada
raut tak suka dari Nyonya Sasaki. Tetapi wanita itu tidak memprotes permintaan
anaknya. "Tetapi lepaskan syal biru itu."
"Hai."
Oca
memberikan syal biru itu kepada seorang pria yang berdiri di dekat pintu. Setelah
itu, Ia lantas menyusul Ibunya yang sudah lebih dulu melenggak ke dalam ruang
pesta luas dengan dominasi warna emas. Dengan sedikit gugup, gadis itu
merapatkan dekapannya. Membuat sedikit jarak dari pengunjung pesta adalah hal
yang harus Ia lakukan. Tentu untuk melindungi dirinya sendiri.
"Oca-chan, kemarilah!" seru Ibunya yang
kini sudah berada di tengah ruangan.
Masih
berniat melindungi dirinya, Oca mengendap-endap. Pelan, tetapi pasti.
Setidaknya dengan cara ini Ia dapat berada di samping Ibunya dengan selamat.
Setelah melewati dua pemuda, empat gadis cantik bergaun mewah, dan dua orang
pelayan, Oca melingkarkan tangan ke lengan kiri Ibunya. Meminta perlindungan.
Sayang, Nyonya Sasaki tidak mengerti.
"Lihat!
Itu ayahmu!"
Bola
mata gadis itu mengikuti telunjuk Ibunya. Telunjuk itu mengarah ke sebuah
panggung yang tidak seberapa tinggi di sebelah para pemain musik yang tengah
melantunkan musik jazz. Pria yang telah melewati lebih dari empat puluh tahun
kehidupan itu tampak cerah. Wajahnya yang memiliki kumis tipis itu terhiasi
senyum bahagia. Ya. Jabatan Mentri yang baru saja diraihnya tentu menjadi
alasan pesta ini terselenggara.
"Okaasan tidak memberi selamat pada Otousan?"
Pertanyaan
yang bodoh, memang. Tetapi pertanyaan itu sama bodohnya dengan perbuatan mereka
sekarang. Datang ke pesta di tengah musim dingin yang menusuk. Tidak ada satu
kebaikan pun yang akan terjadi di pesta ini. Ia tidak akan mungkin berada dalam
radius satu meter dari ayahnya. Apa lagi memberinya selamat secara langsung.
Jika terjadi, Ibunya tidak akan selamat untuk dua hari ke depan.
"Iie. Kita lihat saja dari
kejauhan," ujar Nyonya Sasaki pelan. Wajah sendu itu kembali. Menguasai
diri dan hati wanita itu. Entah sudah berapa lama Ia merasakan perih ini dan
sudah berapa kali Ia berhasil bertahan. Benar. Kini, Ia harus melakukan hal
yang seperti biasa. Menenangkan diri, kemudian kembali bersikap normal. "Toire he ikimasu." (Toire he ikimasu : pergi kekamar mandi)
Mau
tidak mau, Oca merelakan Ibunya pergi. Toh ini hal yang biasa terjadi.
Meninggalkan Oca untuk sekedar menyegarkan pikiran di kamar mandi. Hanya saja,
ada sedikit perbedaan di sini. Oh, tidak. Ada banyak. Dan hal itu membuatnya
kembali merapatkan kedua tangan ke tubuhnya. Terlalu banyak orang.
"Anda
ingin minuman, Nona?"
Gadis
itu terperanjat. Seorang pemuda berbalut seragam hitam-putih khas para pelayan
tengah menawarkan nampan berisi beberapa minuman kepadanya. Mata elang pemuda
itu menarik perhatian Oca sebentar. Tetapi baru beberapa detik, Oca melepaskan
pendangannya, berpaling, lalu berlari kecil meninggalkan pemuda yang mematung
sambil menajamkan sorot mata.
"Matte!" ( Matte : tunggu)
Dengan
sembarangan, pemuda itu meletakkan nampan ke meja terdekat. Tanpa memandang
semua tugas yang tengah diembannya, Ia berlari. Berkelit di antara para tamu
dan dua kali hampir menabrak meja. Ini
demi gadis itu. Gadis yang memakai gaun pink pucat dengan hiasan pita besar di
belakang.
"Matte!" teriaknya lagi.
Sekarang,
acara kejar mengejar itu telah memiliki banyak penonton. Tetapi pemuda yang berhasil
merapatkan jarak dengan gadis yang dikejarnya, tidak peduli. Kali ini Ia tidak
akan membuang kesempatan. Tidak. Gadis itu berada di depannya dan tentu saja Ia
harus meraihnya. Bukan hanya untuk membuktikan ucapan Ibunya. Pemuda itu juga
ingin melihat paras cantik gadis itu sekali lagi.
"Gotcha!" serunya saat berhasil
meraih pergelangan tangan gadis itu.
Pemuda
itu mengatur napas. Getaran hebat yang menjalar di seluruh tubuh gadis itu
berusaha Ia redam dengan genggamannya yang menguat. Cara itu berhasil. Getaran
itu makin tidak terasa dan gadis yang Ia temui saat salju pertama di Kyoto itu
menoleh. Menampakkan wajah kebingungannya.
Ia
adalah manusia bodoh jika tidak terpesona dengan mata bulat gadis itu. Pipi chubby yang merona dan bibir tipisnya,
terlihat sangat manis. Sungguh kecantikan khas Asia yang menyilaukan. Tidak
perlu ditanyakan lagi. Ia menyukainya. Sangat menyukainya.
"Daisuki," ucapnya lantang dan membuat manik
kecoklatan milik gadis di depannya membulat sempurna.
***
0 komentar:
Posting Komentar