Minggu, 13 Januari 2013

Cerpen_Tak Ada yang Abadi

di Januari 13, 2013

Semua yang kita miliki di dunia ini sejujurnya adalah milik Sang Pencipta. Hidup, mati, jodoh bahkan materi yang kita miliki didunia juga milik Sang Pencipta. Maka dari itu pada saatnya nanti semua yang kita miliki akan kembali kepada Sang Pencipta. Ya didunia ini memang tak ada yang abadi, kita seolah olah hanya meminjam dari Sang Pencipta.


--------------------TAK ADA YANG ABADI-------------------


Ini adalah kisahku, kisah yang ku tulis diatas sebuah kertas putih dengan menggunakan tinta hitam. Cerita ini bukan sekedar rekayasa, ini adalah nyata, ya kenyataan pahit. Sangat pahit dan menyedihkan menurutku. Kejadian dimana aku kehilangan semua yang ku punya. Ya Sang pencipta itu mengambil semua yang ku miliki, tak ada satupun yang di sisakan olehNya. Berlebihan? Tidak! Ini tidak berlebihan! Semua ini yang ku alami. Ini merupakan cerita masa laluku yang kelam!



Angin berhembus sangat kencang menerbangkan tiap-tiap dedaunan kering yang telah gugur dari dahannya. Rerumputan yang hijau terbentang dengan indahnya, pohon-pohon besar tertanam dengan kokoh. Sejuk. Sangat sejuk! Oleh sebab itulah banyak orang yang berlalu lalang disini, dari segala umur, anak-anak hingga orang tuapun ada disini. Ada yang bermain bersama keluarga, teman atau ada juga yang hanya duduk santai menikmati pemandangan disini.

Begitupun denganku, sekarang aku sedang berlari mengitari taman ini. Rambutku yang telah di ikat dengan rapi oleh ibuku ikut bergoyang layaknya sebuah irama yang mengikuti tiap gerakku.
“oik sayang jangan lari-lari nak. Nanti kamu jatuh.” tegur ayahku. Aku menengok kearahnya, lalu tersenyum pada ayah.
“ ayo yah! Kejar oik kalau bisa.”


Aku terus berlari hingga akhirnya aku tak sengaja tersandung batu yang berada didepanku.
BUUKK!!!!!
Dengan sukses aku terjatuh ditanah. Perlahan tapi pasti cairan merah kental itu keluar dari lututku yang terbentur dengan batu itu.
“ hua ayah.” Isakku keras. Ayah menghampiriku, wajahnya begitu cemas, nafasnya tak teratur.
“yaampun kamu kenapa nak? Kok bisa jatuh?” Tanya ayah cepat.
“sakit yah.” Lagi lagi aku merengek manja. Ayah meniup niup lukaku yang menganga lebar itu, berharap dengan itu sakit yang kurasakan akan berkurang.
“kita pulang yuk nak.” Ajak ayah pelan, aku menggeleng keras.
“nggak bisa jalan yah, sakit.”
“yaudah ayah gendong sini. Jangan nangis donk! Anak ayah nggak boleh cengeng.”
Aku mengangguk lalu mengusap air mataku yang masih tersisa dipipiku. Ayah membungkukkan pundaknya dengan sigap aku menaiki pundaknya itu.

^,^
“loh? oik kenapa kok di gendong sama ayah?” Tanya kakakku ketika kami sudah sampai dirumah.
“oik jatuh tadi!” jawab ayah singkat
“jatuh? Hahaha. Makanya jadi anak tuh jangan bandel. Jatuhkan?” ledek kakakku. Aku mengembungkan pipi bertanda aku sedang kesal.
“iel! Nggak boleh gitu sama adiknya! Adik kamu tuh lagi ketimpa musibah, bukannya di tolong malah di ledek!” tegur ayah. Kakak terlihat cemberut, sedangkan aku dengan seenaknya menjulurkan lidahku, untuk meledek kakakku.
“dasar manja!”
“biarin.”


Aku hidup dari keluarga yang berkecukupan, bahkan tergolong lebih. Keluargaku yang terdiri dari ayah, ibu, kakak, dan aku hidup sangat bahagia. Hampir tak ada masalah yang berat yang menimpa keluargaku. Kami juga saling menyayangi antar satu sama lain, meskipun aku dan kakak sering terlibat pertengkaran. Tapi menurutku itu semua wajar untuk sepasang kakak adik seperti kami. Oh iya umurku dan kakak terpaut cukup jauh sekitar 7 tahun, kakak sekarang berumur 14 tahun sedangkan aku baru berumur 7 tahun.

Ya hidupku dulu memang indah, tapi semua itu telah berlalu ya berlalu begitu saja. Hidupku sekarang hancur! Sangat hancur! Hidup yang berat kini sedang menghantuiku, ini semua berawal dari kejadian yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Kejadian yang begitu merubah jalan hidupku dan tentunya keluargaku.

“ ayah mau kemana? oik ikut yah.” Kataku manja, aku terus menarik ujung kemeja ayah.
“ oik disini aja. Temenin kak iel sama ibu.” Jawab ayah sambil tersenyum hangat.
“nggak mau! oik mau ikut sama ayah!” kataku ngeyel. Kali ini aku tak lagi menarik ujung kemeja ayah melainkan aku menarik tangan ayah.
“ayah cuman sebentar kok. oik disini jaga ibu dan kak iel! Jangan nakal ya nak? Ayah pegi dulu!” perlahan lahan ayah melepaskan genggaman tanganku.

“AYAH!!” panggilku keras, tapi itu percuma ayah telah pergi bersama dua orang lelaki yang bertubuh besar dan tegap itu. Aku tertunduk ditanah menatap punggung ayah yang kian lama kian menghilang. Entah mengapa, aku merasa kepergian ayah kali ini adalah kepergian ayah untuk selama-lamanya.

“dek, udah jangan nangis. Ayah cuman sebentar kok.” Hibur kak iel. Ia lalu membantuku untuk berdiri.
“oik mau ikut ayah kak. Hiks.” Isakku pelan.
“kan ayah cuman sebentar. oik jangan nangis donk, oik kan dulu pernah janji sama ayah kalau sela bakal jadi anak yang kuat bukan jadi anak manja.” Kak iel memelukku erat.
“kakak yakin ayah pasti kembali.”

Seminggu telah berlalu sejak kejadian waktu itu, tapi ayah tak juga kembali hingga sekarang. Seperti perkiraanku sebelumnya ayah pergi untuk waktu yang lama atau mungkin tak akan kembali untuk selamanya.

“ aku nggak mau main sama oik!”
“iya oik anak pencuri!” aku memandang satu persatu teman temanku, memikirkan apa yang dikatakan oleh mereka. Anak pencuri? Aku anak pencuri? Bukan! Aku bukan anak pencuri!
“oik bukan anak pencuri!” belaku.
“oik anak pencuri! Buktinya ayah oik di tankep sama pak polisi! Itu karena ayah oik pencuri!” jelas temanku.
“bukan! Ayah oik bukan pencuri! Ayah oik orangnya baik! Jadi nggak mungkin mencuri!” aku terus terusan membela ayahku. Ya walaupun sejujurnya aku tak tau pasti apa yang terjadi pada ayah. Tapi aku yakin ayah bukanlah seorang pencuri! BUKAN!

“ udah deh, pencuri mah mana ada yang mau ngaku! Udah yuk temen-temen kita main aja tinggalin aja anak pencuri sendirian!” setelah mengatakan itu, semua teman-temanku pergi meninggalkanku sendirian. Aku menundukan kepalaku, sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak meneteskan air mataku ini.

Tes.
Tes.
Tes.
Satu persatu air mataku jatuh, jatuh seperti hujan yang semankin lama semakin deras.

“..anak ayah nggak boleh nangis!”
“..anak ayahkan kuat, nggak cengeng!” suara ayah terus menggema di telingaku, semakin lama semakin jelas.

“hei kok nangis?” tunggu ini bukan suara ayah. Laku ini suara siapa? Aku mendonggakkan kepalaku, untuk melihat pemilik suara asing itu.
“kamu siapa?” tanyaku heran karena sebelumnya aku tak pernah melihatnya.
“aku obiet. Kamu?” jawabnya, iapun mengulurkan tangannya. Aku menyambut uluran tanganya itu.
“aku oik.”
“kamu kenapa nangis? Udah gitu sendirian lagi?”
“nggak ada yang mau main sama aku.” Jawabku singkat.
“kenapa?”
“hiks, kata mereka ayahku pencuri.” Lagi lagi air mataku jatuh.
“pencuri?” tanyanya heran, aku menangguk pelan.
“tapi aku yakin ayahku bukan pencuri.” Belaku.
“kalo gitu sela main sama obiet aja ya?” tawarnya, aku nenggerutkan kening.
“obiet mau main sama oik? Beneran? Yakin?” tanyaku menyakinkan. obiet menganguk pasti.
“ta..ta..pikan ayah obiet pencuri?”
“akukan mainnya sama oik, bukan sama ayah kamu.”
“jadi?”
“mulai sekarang kita temenan!”

“janji ya nggak akan ninggalin aku kayak temen yang lain?”
“janji!”

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, kini matahari perlahan-lahan mulai tenggelam di gantikan dengan cahaya rembulan yang indah.
“ik, udah malam, kita pulang yuk.” Ajak obiet, ya sejak tadi siang aku dan angga sibuk bermain. Ada saja yang kami lakukan. Dari bermain petak umpet, kejar kejaran, dan sebagainya.
“ayo, sela juga mau pulang, takut dimarahin sama kakak.” Ujarku.

“ya ampun adik kakak kemana aja, kok jam segini baru pulang?” Tanya kakak sesampainya aku dirumah. Aku tersenyum.
“hehehe. Abis main kak. Tadi aku dapet teman baru.”
“main sih boleh. Tapi nggak sampai malam juga kan?”
“iya iya maaf.”
“yaudah mandi sana. Udah asem tuh.” Ledek kakak seraya menutup hidungnya.
“ye oik nggak bau tau..” kataku manyun, lalu segera aku menuju kamarku menggambil baju dan pergi mandi.

Bermenit- menit telah berlalu, kini aku dan kakak sedang berada di meja makan menikmati makan malam kami yang sederhana.
“kak, kok dari tadi aku nggak lihat ibu. Ibu kemana kak?” tanyaku heran, karena memang dari pagi sampai saat ini ibu tak terlihat. Cukup lama kak iel terdiam, keningnya menggkerut, entah apa yang sedang ia pikirkan.
“hmm.. ibu? Oh ibu lagi cari kerja dek, ya cari kerja!”  jawab kakak kikuk.
“cari kerja?” tanyaku lagi. Kak iel mengangguk.
“udah, kalau kamu sudah besar kamu bakal ngerti kok.” Jawabnya lagi.




Waktu demi waktu telah berlalu, berganti hari, minggu, bulan, bahkan tahun. Kini aku yang sekarang bukanlah seorang gadis yang cengeng dan manja. Kini aku tumbuh menjadi seorang gadis yang dewasa. Ya seiring berjalannya waktu aku mulai mengerti apa yang terjadi dengan hidupku. Dimulai dari ayah yang di tangkap oleh polisi karena di tuduh menggelapkan uang di perusahaan tempat dia berkerja, lalu di susul oleh ibu yang menghilang dan sampai sekarang aku dan kakak tak tau keberadaan ibu dimana. Kalian tau apa sebab ibu pergi meninggalkan kami? Sebabnya sangat sederhana! Ya ibu tak bisa dan tak mau hidup dalam kesederhanaan seperti sekarang! Pikiran yang picik menurutku, bagaiman tidak? Mana ada seorang ibu yang dengan teganya meninggalkan kedua anaknya, yang masih tergolong anak-anak hanya karena materi? Semenjak hari itulah aku memutuskan untuk membenci ibu dan melupakannya. Cobaanku tak berhenti sampai disana, seminggu setelah kepergian ibu dari rumah, rumah yang selama ini kami tempati harus disita oleh bank untuk melunasi semua hutang hutang ayah dan sekarang aku berserta kakak harus rela tinggal dirumah sempit dan kumuh itu. Mau bagaimana lagi ini semua sudah jalan dari Yang di atas.
Semenjak hari itulah kakak harus berjuang mati matian untuk hidup kami berdua. Sejak kakak berusia 14 tahun kakak sudah harus berkerja untuk mencari nafka. Banyak hal yang sudah kakak kerjakan, dari menjual Koran, makanan, menjadi pelayan restoran, dan yang terakhir kakak menjadi guru les privat. Ya kakak memang seorang kakak yang hebat, ia mampu menghidupkan aku di usia dia yang masih tergolong muda itu. Entah apa yang terjadi di dalam hidupku jika tidak ada kakak di sampingku.

“kakak mau kemana lagi? Baru juga pulang kak.” Tanyaku ketika aku melihat kakak sedang bersiap-siap untuk pergi padahal baru beberapa menit yang lalu kakak pulang dari kampusnya.

“kakak mau kerumah ozy, kan kakak mau ngajar dia hari ini.” Jawab kakak singkat.
“nggak makan dulu kak? Makan dulu kak, ntar kakak sakit loh.”
“nggak sempet ik, ini aja kakak udah telat. Kakak makan di jalan aja. Kakak pergi ya, hati-hati dirumah, jangan bukain pintu kalau ada orang yang nggak di kenal.” Pamit kakak. Aku hanya mengangguk pelan. Lagi lagi aku sendiri di rumah, hampir setiap hari aku merasakan hal yang sama seperti ini, sendiri dan sendiri, ya tapi aku tak boleh mengeluh kakak melakukan ini semua juga untuk kehidupan kami berdua. Justru seharusnya aku bangga mempunyai kakak sepertinya.

Matahari mulai menampakkan wujudnya, cahayanya perlahan-lahan menerobos masuk kerumah-rumah warga yang ada di kota ini.
“ kak, aku berangkat dulu ya?”
“hati hati ya dek? Belajar yang benar!” nasehat kak iel, aku mengangguk, lalu mencium tangan kakak..
“siip bos. Dah kakak.. jangan kangen ya, hehehe..”




“ eh eh liat deh anak pencuri udah datang.”
“iya kasian banget deh, udah ayahnya di penjara terus ibunya kabur eh rumahnya di sita.”
Aku mengepalkan tanganku, ingin rasanya aku menampar orang- orang yang selalu menghinaku, tapi urungku lakukan karena sejak tadi obiet yang berada di sampingku menggegam erat tanganku, aku menengok kearahnya, ia tersenyum seolah olah ia berkata padaku. ‘udah biarin aja, anggap aja angin.’, aku membalas senyumannya dan kamipun melanjutkan perjalanan kami menuju kelas tercinta.

Teng.. teng… bel tanda pulang sekolahpun bebunyi nyaring, itu menandakan bahwa jam pelajaran pun telah usia. Seluruh siswa berhamburan keluar kelas mungkin mereka sudah tak sabar berkumpul dengan keluarga mereka, tidak sepertiku. Akh kenapa denganku? Kenapa akhir-akhir ini aku sering mengeluh tak jelas? Nggak sel! Kamu nggak boleh ngeluh! Semangat!!
“ ik, mau langsung pulang atau ke taman?” Tanya obiet ketika aku dan dia sedang berada di tempat parkir.
“terserah aja, aku mah tinggal ikut aja.” Jawabku singkat.

Brum brum brum…
obiet mulai menjalankan mesin motornya itu.

Cittttttttt…
Selang berapa menit kemudian obiet memberhentikan motornya di sebuah taman. Yups taman dimana pertama kalinya kami bertemu. Kami lalu berjalan menuju sebuah pohon yang rindang dan sejuk itu, lagi lagi disinilah kami bertemu untuk pertama kalinya.
“kau masih ingat tempat Ini?” Tanya obiet, aku mengangguk pelan.
“tentu, aku tak mungkin melupakan kejadian itu.” Kataku, obiet tersenyum.
“yups 5 tahun yang lalu kita berjanji untuk menjadi sahabat selamanya.” Lagi lagi aku mengangguk menyetujui perkataannya.
“hahaha.. aku masih ingat betul wajahmu dulu. Seperti ini bukan?” ujar nya, lalu ia mulai memainkan eksperesi wajah yang di buat buat.
“ berlebihan!” kataku pendek
“tidak! Waktu itu wajahmu sangat jelek, bahkan lebih jelek!”
“sudahlah, kalau tujuanmu mengajakku kesini hanya untuk meledekku mending juga aku pulang!” kataku lalu aku mulai berdiri dan meninggalkan obiet.
“kau tahu? Saat itu aku berjanji untuk selalu membuatmu tersenyum.” Ujar obiet lagi. Aku menghentikan  langkahku dan menengok kearahnya.
“aku tak ingin melihat air matamu itu mengalir lagi.”
“cukup saat itu aku melihatmu menangis!”
“kau tak boleh menangis lagi! Karena aku akan membuatmu selalu tersenyum.” Perlahan lahan obiet menghampiriku, lalu ia tersenyum manis.
“jangan menatapku seperti itu. Sekarang kita pulang! Aku tak mau kena marah kakakmu yang galak itu.” Lanjutnya lagi, aku masih terdiam tak tau harus berkata apa.
“ ayo!” perintahnya, lalu ia menarik tannganku menuju motornya.




“kak, oik pulang..” kataku keras. Sepi rumah ini begitu sepi, dimana kakak? Apa masih di rumah anak didiknya atau?

“kak.. kak iel.” Panggilku lagi, aku berjalan menuju kamar kakakku, dan sesampainya disana aku melihat kak iel sedang terbaring, tubuhnya ia tutupi selimut, hingga yang terlihat hanya wajah kak iel saja.
“kak? Kakak kenapa? sakit?” Tanyaku khawatir.
“kakak nggak kenapa kenapa kok. Kakak cuman kecapekan aja.” Jawabnya pelan. Perlahan lahan tanganku menyentuh kening kak iel, astaga suhu badan kak iel tinggi.
“kak iel demam? Kita ke dokter yuk kak!”
“nggak ik, kakak nggak kenapa kenapa sebentar lagi juga sembuh, cuman butuh istirahat aja.” tolaknya.
“bener? oik cuman nggak mau kak iel kenapa kenapa..” Kataku pelan.
“ iya oik, kakak nggak kenapa kenapa kok.” Jawabnya lembut, lalu kakak membelai rambutku pelan.
“oik buatin bubur ya kak?” kak iel mengangguk.

Tuhan ku mohon sembuhkanlah kak febri, aku tak ingin kehilanganya. Karena hanya dialah orang yang ku punya. Aku sangat menyayanginya melebihi apapun di dunia ini.

Berminggu minggu telah berlalu namun kak iel belum juga sembuh justru sebaliknya, kondisinya kini sangat menghawatirkan. Wajahnya pucat pasih, bibirnya membiru, tubuhnya menggigil, ia sering mengeluh nyeri pada tulang dan persendiannya.

“kak, oik mohon kali ini kakak mau kedokter ya? Udah seminggu lebih kakak sakit. aku nggak mau terjadi sesuatu yang buruk sama kakak.” Kataku pelan, sekuat tenaga aku menahan air mataku ini.
“oik, kakak nggak pa pa kok. Ini cuman flu biasa.” Elaknya lagi.

“nggak kak! Kakak tuh sakit jadi kakak harus ke dokter! Sekarang!” kataku tegas.

Leukimia limfositik kronis kini sedang mendera nya, tubuhnya sudah menunjukan gejalanya, nyeri tulang dan persendian, tinggi sampai kadar darah putih yang berlebih ditubuhnya. Leukimia, sel darah putih tidak merespon signal yang diberikan.Produksi  yang abnormal akan keluar dari sumsum tulang dan dapat ditemukan di dalam darah perifer yang dapat mengganggu fungsi normal sel lainnya.

Ya penyakit itulah yang sedang di alami kakak, tubuhnya sudah menunjukan gejala-gejala seperti  itu, kakak sering mengeluh nyeri  pada tulangnya, dan juga sendinya.  Parahnya lagi penyakit yang kakak alami sudah mencapai  stadium akhir.

Tuhan cobaan apa lagi yang Kau berikan  padaku? Belum cukup Kau mengambil semua yang ku punya, apa sekarang Kau  juga ingin mengambil  kakakku , satu- satunya keluarga  yang ku punya?

“ kak, oik mohon kakak mau ya di rawat dirumah sakit?” bujukku lembut, kak iel  terdiam, lalu ia tersenyum manis.
“ percuma ik itu tuh nggak berguna. Cuman buang buang uang aja.”  Jawabnya.
“kak di dunia ini tuh nggak ada yang nggak mungkin, asal kita mau berusaha dan berdoa pasti ada jalannya. Aku  mohon kak.” Aku terus membujuk kakakku, aku tak akan berhenti untuk meminta kepadanya agar ia mau mendapat perawatan khusus.
“ik, itu semua tuh perlu biaya yang banyak dan nggak sedikit! Kita mana punya uang sebanyak itu. Untuk makan aja susah ik.”
“kak, soal uang kakak nggak usah mikirin! Oik  yang akan usaha untuk dapetin uang itu! Yang penting sekarang kakak mau dirawat!” kataku ngeyel. Kak iel lagi-lagi terdiam.
“kak oik mohon! oik pingin terus sama kakak. Oik  nggak mau pisah dari kakak.” Ujarku lagi. Tes satu parsatu air mataku jatuh.






Ruang itu serba putih, dari warna dindingnya hingga ornament-ornamen yang ada di sana semua di dominasi warna putih. Harum obat-obatan sangat kental. Aku mengengam erat tangan kakakku. Berharap dengan itu dapat meringankan bebannya.
“kakak, nggak pa pa kok.” Ujarnya di iringin senyumnya yang khas. Aku mengangguk dan membalas senyumnya.

Hari-hari kakak sekarang di isi dengan terbaring lemah tak berdaya di tempat tidur putih itu. Kondisinya tidak membaik, malah menurutku sangat memperihatinkan. Tubuh kakak sekarang kurus, rambutnya yang dulunya tebal, sekarang kian lama kian menipis, mukanya pucat pasi. Tapi yang aku salut darinya adalah ia tak pernah sekalipun mengeluh, ia tetap tersenyum walaupun aku tahu ia sedang menahan sakit yang luar biasa.

“kakak, oik datang.” Ujarku riang sekuat tenaga aku mencoba untuk tersenyum.
“lihat lihat oik  bawa apa..” lanjutku lagi, kali ini aku menunjukkan sesuatu pada kakak.
“ayam bakar kan?” tebak kakak, aku mengangguk mengiyakan perkataan kakak.
“kesukaan kakak kan?”
“masih ingat?”
“tentu. Makan ya kak?”  perlahan lahan aku menyuapinya.

Tuhan ku mohon jangan pisahkan aku dengannya, beri aku waktu untuk membahagiakannya. Ku mohon.


Sudah beberapa minggu ini kak iel di rawat di rumah sakit, kini giliran aku yang mencari uang untuk hidup kami dan biaya kak iel selama di rawat di rumah sakit. Dengan berbekal  keahlianku untuk membuat berbagai  jenis kue-kue kering, karena itulah aku sekarang berjualan berbagai kue-kue kering. Kadang-kadang kue-kue itu aku titipkan ke kantin sekolahku, tapi  jika libur maka aku harus menjualkan kue ini dengan cara bekeliling komplekku. Melelahkan? Tentu, ini memang sangat melelahkan, tapi mau bagaimana lagi aku mendapatkan uang? Dengan berjualan kue saja tak cukup, untung selama ini kakak menyimpan uang di tabungannya, kalau tidak, entahlah bagaiman cara untuk membiayai pengobatan kakak.
“gimana ik, kak iel udah baikan?” Tanya obiet  saat kami sedang berada di taman rumah sakit tempat dimana  kak iel  dirawat.
“belum ada perubahan biet, justru sekarang keadaan kak iel makin parah.” Jawabku lemas.
“aku yakin kok, pasti kak iel sembuh.” Ujar nya, aku hanya membalas dengan sebuah anggukan dan senyum yang di paksakan.

Ku harap demikian, kak  iel akan cepat sembuh dan aku  bisa berkumpul  lagi denganya. Ya semoga..

Aku berlari sekuat  tenaga, melewati lorong-lorong panjang di rumah sakit ini, jantungku berdetak  tak karuan, keringat dingin mulai keluar dari setiap pori-poriku, apa mungkin? Apa mungkin sekarang saatnya aku akan kehilangan seseorang  yang sangat berarti bagiku? TIDAK! Aku tak mau kehilangannya! TAK AKAN PERNAH MAU!!

Krekk…..

Perlahan-lahan aku membuka pintu kamar dimana kak febri dirawat. Disana sudah ada dokter, 2 orang suster, dan obiet. Ya tadi aku meminta tolong pada obiet untuk menemani kak iel di saat aku sedang menjualkan kue-kue keringku. Namun baru beberapa jam aku meninggalkan kak iel, tiba-tiba saja obiet meneleponku dan memberitahuku, bahwa kondisi kak iel  menurun.

“kak, kakak nggak papa kan?” tanyaku khawatir, aku mengengam tangan kakak erat, dingin tangan kakak begitu dingin!
“kakak, nggak pa pa kok ik. Kakak baik-baik aja, obiet aja noh berlebihan.” Ujar kakak parau. Lagi lagi aku berusaha untuk tidak menangis.
“ik, mau  janji nggak sama kakak?”
“janji? Janji apa kak?”
“janji, kalau kakak udah pergi nanti kamu harus jadi anak yang  tegar, mandiri, nggak cengeng. Janji ya?”
“kakak tuh ngomong apa sih? Kakak tuh nggak akan kemana-mana!  oik nggak akan biarin kakak pergi!” ujarku tegas, lagi-lagi cairan bening ini keluar begitu saja.
“tuh kan mulai cengeng lagi! Baru di bilangin gitu aja udah nangis! Payah akh!”
“lagian kakak ngomong kayak gitu!”
“oik,  kalau saatnya udah tiba juga kakak akan pergi, sekuat apapun kita berusaha, kalau Tuhan sudah menghendaki pasti akan terjadi.” Ujar kakak lembut, aku hanya bisa diam,sesekali  isakkan ku terdengar.
“udah akh, kakak tuh mau lihat kamu senyum, bukan nangis! Jelek tau! Nggak malu apa di liatin calon pacar?” ledek kak iel.
“ikh kakak apaan sih? Malu tau sama obiet!”
“hahah, gitu donk senyum.. jangan nangis. Jelek tau.”
“obiet, sini kakak mau ngomong sama kamu.” Panggil kakak, obiet  mengangguk lalu berjalan pelan dan berhenti tepat di sampingku.
“kamu mau janji sama kakak?” obiet mengangguk yakin.
“janji, kalau kakak udah nggak ada kamu yang jagain oik!”
“kakak apaan sih?” Protesku lagi, entah mengapa aku tak suka mendengar ucapan kakak kali ini.
“oik  itu jiwanya masih labil, gampang ngambek, cengeng lagi. Tapi kakak yakin kamu bisa jaga oik dengan baik.” Lanjut kakak tanpa memperdulikan perkataanku tadi.
“aku janji kak!” jawab obiet yakin.
“bagus kalau gitu. Kakak cuman percaya sama kamu! Jangan pernah ngecewain oik. Sekali aja kamu bikin oik nangis kakak di atas nggak bakal tinggal diam! Ngerti?” ujar kakak lagi, apa sih maksud kakak? Ia seolah-olah akan pergi hari ini juga!

“ oik, kamu juga harus janji sama kakak! Harus jadi anak yang kuat, nggak cengeng lagi!”
“nggak mau! oik nggak mau  janji kayak gitu! Nggak mau!” ujarku keras. Lagi-lagi air mataku jatuh.
“oik, harus janji sama kakak!” perintah kakak, aku mengegeleng sekuat tenagaku
”OIK!” bentak kakakku keras, mau tak mau aku mengangguk.
“kamu itu sudah dewasa, bertindaklah seperti orang dewasa, jangan seperti anak kecil!  Mengerti?” lagi-lagi aku hanya mengangguk. Kakak tersenyum tulus, aku menundukkan kepalaku, berat rasanya melihat wajah pucat kakak.
“walaupun kakak udah nggak ada, tapi kakak akan selalu mengawasi kalian! Ingat itu!” ujarnya lagi.
“kalaupun kakak sudah tak ada, ingatlah kakak selalu ada di hati kalian dan di atas sana. Kakak nggak akan bisa tenang kalau lihat adik-adik kakak sedih, selalu tersenyum untuk kakak ya?” lanjutnya lagi, kini air mataku sudah jatuh, nafasku naik turun tak karuan.

Hening, tiba-tiba ruangan ini menjadi hening tak ada lagi suara kakak, yang terdengar hanya isakkan tangisku. Perlahan-lahan aku menegakkan kepalaku, memberanikan diri untuk melihat kearah kakak. Sekarang yang ku lihat wajah kakak yang pucat, matanya yang tertutup rapat, dan bibirnya yang mengulum senyum.
“KAKAK!!”
Secepat inikah, kakak pergi meninggalkanku? Apa semua orang yang ku sayangi akan pergi satu persatu?

Suasana seperti inilah yang ku takuti sejak dulu. Angin yang bertiup kencang, banyak dedaunan kering yang  jatuh, banyak orang yang berdatangan menggunakan baju serba hitam. Sunyi tak ada satupun suara, yang ada hanya suara  isakan tangis dari beberapa orang disana. Aku memandangi  batu nisan yang bertuliskan nama seseorang, ya batu nisan itu bertuliskan nama kakakku, dan di bawah batu nisan serta gundukkan tanah itulah kakakku di baringkan disana.

“turut berduka cita ya dek!”
“yang sabar ya, semoga arwah kakaknya di terima di sisi Tuhan.” Aku hanya bisa terdiam ketika semua orang memberi ucapan bela sungkawanya. Menurutku semua perkataan mereka tak berguna! Sama sekali tak berguna!

“ik, kita pulang yuk? Sebentar lagi hujan!” tak ku hiraukan perkataan obiet saat ini, aku hanya diam termenung disebelah makam kak iel.
“ik.” Panggilnya lagi.
“kalau mau pulang, pulang aja!!” jawabku dingin.
“ik, kita pulang yuk?”
“sudahku bilang kan? Kalau kau ingin pulang silahkan! Aku masih ingin disini menemani kak febri!”
“ik, kamu nggak boleh kayak gini! Kamu kayak gini malah buat kak iel nggak tenang!”
“tau apa kau? Kau tak sedikitpun mengerti perasaanku! Karena kau tak pernah mengalami yang ku alami sekarang!”  bentakku lagi.
“ik,apa kau  ingat kata kakakmu sebelum ia pergi?” .
“walaupun ia sudah tak ada, tapi  ingatlah kakakmu masih ada disini dan disana.”
Jawab angga sembari menunjuk kearah hatiku dan menunjuk ke arah langit senja itu.
“apa menurutmu Tuhan itu adil?” Tanyaku tiba-tiba. obie mengerutkan keningnya, mungkin ia bingung dengan pertanyaanku tadi.
“Tuhan tak adil padaku! Ia selalu mengambil semua yang ku sayang. Dari ayah, ibu, dan sekarang ia mengambil  kakakku”
“ik, kau tahu? Tuhan itu maha baik, ia menyayangi semua orang di dunia ini. Ingat di balik musibah pasti ada hikmahnya.”

Bertahun-tahun ku lewati  tanpa kakak.  Berat rasanya harus di tinggalkan oleh satu-satunya anggota keluarga yang tersisa. Tapi perasaan itu lama-lama hilang seiring berjalannya waktu terlebih lagi ada obiet  yang menemaniku. Ia selalu ada dikala aku sedang sedih maupun gembira. Kini aku dan obiet sudah tidak lagi menjadi sepasang sahabat. Melainkan sekarang kami berdua  menjadi sepasang kekasih. Ya sudah lebih dari setahun yang lalu, angga menyatakan semua itu padaku, dan dengan mudahnya aku menjawabnya dengan sebuah anggukan.

Kini aku dan obiet  sedang berjalan menyusuri makam demi makam. Suasana di tempat ini tak jauh berbeda sejak 3 tahun yang lalu saat kak iel di makamkan. Langkah kaki kami terhenti disalah satu makam. Ya makam yang tak lain adalah tempat peristirahatan terakhir kak iel.

“kak, oik sama obie datang lagi. Hehehhe.. nggak bosan kan kak? Kak oik kangen sama kakak.. oik kangen isengnya kakak, ketawanya kakak, galaknya kakak. Oik  kangen itu kak. Kak oik udah memenuhi ke inginan kakak. Untuk menjadi seorang  gadis yang kuat nggak cengeng, kakak lihat itukan?” kataku panjang lebar aku mendonggakkan kepalaku, melihat ke arah langit siang itu

Angin tolong sampaikan pesanku. Aku sangat menyayangi  kakak. Aku ingin melihat senyumnya. Tolong sampaikan padanya kabarku di sini akan baik-baik saja, aku tak akan pernah melupakan semua jasa yang telah kakak berikan padaku. Tak akan pernah!!!

--------------------TAMAT-------------------

0 komentar:

Posting Komentar

 

A N L Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea