Minggu, 03 Maret 2013

Rintikan Cinta di Balik Senja

di Maret 03, 2013

Derai hujan kian lama kian menukik tajam, menumpahkan segala elemen yang terkandung di dalamnya, derap langkah kaki orang yang berlalu lalang di sini ikut menambah kebisingan kota. Beberapa orang itu nampak berlari menghindari hujan, tapi tidak dengan gadis itu, dia tetap diam ditempat duduknya semula, memandang langit kelam dengan tatapan sendunya, entah apa yang ia pikirkan saat ini. aku berjalan pelan kearahnya, mengarahkan benda berbentuk parabola ke atas kepalanya, ia terlihat terkejut dengan kedatanganku.
“kau?” ujarnya bingung.
“kau sudah gila ya?” tanyaku kesal, ia menghela napasnya perlahan.
“dia pasti akan datang kan?” ia menatapku dengan tatapan memohonnya, aku menggeleng pelan.
“kita pulang! Ibumu sudah menunggu Nita.” Perintahku tegas, menarik pelan tangan mungilnya, tapi dengan angkuhnya ia menepis tanganku.
“aku masih mau disini, kau saja yang pulang. Dia pasti akan datang, aku yakin itu.” Aku kembali menarik tangannya kali ini lebih kencang dari sebelumnya.
“ku bilang pulang! Dia tak akan datang! Karena dia sudah meninggal nita! Sadar nit! Sadar!” kataku marah, emosiku kali ini sudah mencapai batas maksimumnya, sudah lama aku menahan emosiku karenanya, tapi ini sudah berlebihan, kalo ini terus ku biarkan ia bisa kehilangan akal sehatnya. Lagi-lagi ia menepis tanganku. Menutup telinganya rapat, menggeleng sekuat yang ia bisa.
“nggak mungkin ron, dia pasti datang! Pasti!” ujarnya tegas, berlari sekuat yang ia bisa, pergi meninggalkan aku sendiri di sini.

***
Senyumku mengembang layaknya sepotong cake yang ada di tanganku sekarang, rasanya semua capek itu hilang ketika melihat hasil karyaku, yap sepotong cake cokelat yang kurasa cukup mengiurkan ini, dengan langkah pasti aku memasukkan cake itu kedalam dus yang telah ku sediakan dan membawanya menuju rumah gadis yang sangat ku cintai. Tidak perlu memakan waktu yang lama aku telah sampai persis di depan rumahnya. Menekan bel yang bertenger manis di samping pagar rumah, selang beberapa menit seseorang datang dan menghampiriku.
“eh den Roni, nyari non Nita ya?” tanyanya, aku mengangguk pasti.
“adakan bi?”
“ada kok den di kamarnya.” Jawab bi inem. Aku tersenyum, lalu segera bergegas masuk ketika pintu pagar itu di buka.
“terima kasih bi.” Ujarku, melangkah dengan pasti menuju kamar dimana Nita berada.
“hai nit, lihat aku bawa apa?” kataku riang, ketika aku sudah berada di depanya, tak ada balasan dari Nita ia tetap diam memandangku dengan tatapan yang sama seperti waktu itu, tatapan yang membuat hatiku terasa perih.
“mau coba nggak nit? Ini aku sendiri loh yang buat.” Aku terus saja berusaha membuat dia merespon kata-kataku, tapi lagi-lagi yang ku dapat hanya nihil, ia tak sedikitpun membalasnya. Aku melirik sedikit ke kotak yang sedari tadi ku arahkan kepadanya, menghembuskan napas perlahan, menahan emosi yang telah siap keluar. Aku pejamkan mataku perlahan, meletakkan kotak itu tepat di sampingnya, lalu beranjak keluar dari kamarnya, sungguh aku tak ingin melihat ia seperti ini. kemana Nita yang ku kenal dulu? Kemana perginya senyuman manis itu? Tuhan bantu aku untuk mengembalikan senyuman itu lagi.
***
Aku menatapnya dengan tatapan lembut yang ku punya, berharap masih ada secercah kehangatan di sana. Tapi aku tidak dapat melihatnya, mata itu kosong dan dingin, mata itu telah redup, dan yang hanya bisa mengembalikan sinar itu hanya dia, bukan aku.
“nit” panggilku pelan, ia menoleh ke arahku sebentar lalu membuang pandangannya kemana-mana.
“mau sampai kapan kamu kayak gini? Dia udah pergi nit, aku tau kamu sedih, tapi bukan begini caranya, kamu menyisak diri kamu sendiri nit, kalau dia lihat ini, dia juga pasti sedih nit.” Kataku panjang, nita hanya membalas dengan sebuah helaan napas panjang. “ku mohon terima kenyataan.” Lanjutku lagi, nita mengangguk pelan, dan beranjak pergi meninggalkanku. Apa arti anggukan itu? Apa kau akan berusaha menerima kenyataan pahit ini?

***
“sebenernya kita mau kemana sih?” tanyamu bingung, aku tersenyum menjawabnya.
“hei, mau kemana?” merasa pertanyaanmu tidak ku jawab kau mengulang pertanyaanmu tadi.
“nanti kau juga tau kok.” Jawabku singkat, sambil terus berkonsetrasi menyetir. Ya akhirnya aku berhasil membuatmu sedikit berubah. Kau tidak lagi murung dan menatap sesuatu dengan pandangan kosongmu, kau juga sudah mulai tersenyum, ya walaupun aku tau senyumanmu belum kembali seutuhnya. Tapi itu tak masalah bagiku, karena hari ini aku berniat untuk mengembalikan senyumanmu itu.
Mobilku berhenti tepat di depan bukit yang indah, di bukit ini banyak sekali tertanam berbagai macam bunga, warnanya pun beragam. Aku dengan cepat melangkahkan kakiku menuju puncak bukit, tapi baru setengah menaikinya aku tersadar akan sesuatu, ya Nita hanya diam di samping mobilku, dan tatapan itu kembali, tatapan menyayat hati itu. Aku membalikkan tubuhku, berjalan mendekatinya.
“enggak mau naik nit?” tanyaku, Nita menggeleng pelan.
“mau ngapai ke sini Ron? Kita pulang aja yuk.” Pintanya, ia merengkuh lenganku, menarikku untuk kembali ke dalam mobil.
“Nit, dengerin aku ya, aku tau bukit ini mengingatkan kamu sama dia, aku tau di bukit ini juga dia hilang, tapi Nit kamu masih ada, kamu masih hidup, dan aku mau di bukit ini juga kamu bisa menjadi Nita yang dulu, Nita yang ceria, bukan Nita yang pemurung.” Aku menatap ke dua bola matanya, berharap ia mengangguk dan menyetujui permintaanku kali ini. Nita nampak terdiam, sepertinya ia berusaha untuk tidak mengingat kenangan buruk, kenangan di mana ia kehilangan seseorang yang sangat ia sayangi. Kembali ia menghela napasnya, mengumpulkan sisa-sisa keberanianya.
“ayo, tunggu apa lagi?” ujarnya. Ia melangkah pasti menaiki bukit itu, aku tersenyum melihatnya. Nitaku akan segera kembali, aku yakin itu.
Suasana di sini memang tidak ada yang berubah, damai dan sejuk. Banyak sekali kupu-kupu maupun burung-burung yang berterbangan, menambahkan keindahan. Semilir angin menemani kita berdua, membelai perlahan rambut panjang milik Nita, dan sepertinya ia nampak menikmati semuanya, mata indah itu ia pejamkan, menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan, mungkin dengan itu ia berharap semua beban yang ada di dalam dirinya berkurang. Aku terus saja memandanginya, tersenyum senang melihatnya.
“kau tau kenapa aku ajak kau ke sini?” tanyaku memecahkan keheningan di antara kita. Kau menggeleng pelan.
“aku ingin menggantikan kenangan buruk dengan sebuah kenangan indah.” Kau menatapku dengan tatapan bingung, aku tersenyum lalu berdiri dan mengacak-acak rambutmu pelan.
“Nit, aku tau aku bukan dia, aku tau aku tak akan bisa menggantikan posisinya di hatimu Nit. Tapi nit ijinkan aku untuk masuk ke dalamnya.” Aku berusaha sekuat tenaga untuk menutupi rasa grogiku, aku tidak mau kata-kata yang sudah ku susun semalam suntuk ini gagal. Nita tersenyum lalu berdiri tepat di hadapanku.
“Ron, aku memang belum bisa melupakan kenangan buruk itu, tapi aku mau membuat sebuah kenangan baru bersamamu.” ujarnya pelan, ia membalikan badannya menatap langit mendung siang ini. “langit sampaikan salamku untuknya, sampaikan bahwa aku sudah menemukan seseorang yang dapat membuat kenangan indah itu lagi, langit sampaikan padanya kalau dia tak perlu menghawatirkanku di sana, karena sekarang dialah yang akan menjagaku.” Lanjutnya lagi, bersamaan dengan itu langitpun kembali menumpahkan air. Perlahan tapi pasti air itu terus tumpah, membuat bukit ini basah. Aku tersenyum senang, memeluknya erat sangat erat tak ingin rasanya melepaskannya.

Hujan kini menjadi sanksi bisu perjanjianku dengan dia. Janjiku yang akan selalu ku penggang sampai maut menjemputku, janjiku untuk selalu membahagiakannya, dan membuat goresan indah di dalam kehidupannya. Hujan jagalah dia saat ku tak ada, hujan berikanlah dia kesegaran ketika kemarau menyelimuti harinya. Hujan temani dia saat ia merasakan panas. Hujan samarkanlah tangisannya, jangan biarkan ia menangis lagi.

0 komentar:

Posting Komentar

 

A N L Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea