Derai
hujan kian lama kian menukik tajam, menumpahkan segala elemen yang terkandung
di dalamnya, derap langkah kaki orang yang berlalu lalang di sini ikut menambah
kebisingan kota. Beberapa orang itu nampak berlari menghindari hujan, tapi
tidak dengan gadis itu, dia tetap diam ditempat duduknya semula, memandang
langit kelam dengan tatapan sendunya, entah apa yang ia pikirkan saat ini. aku
berjalan pelan kearahnya, mengarahkan benda berbentuk parabola ke atas kepalanya,
ia terlihat terkejut dengan kedatanganku.
“kau?”
ujarnya bingung.
“kau
sudah gila ya?” tanyaku kesal, ia menghela napasnya perlahan.
“dia
pasti akan datang kan?” ia menatapku dengan tatapan memohonnya, aku menggeleng
pelan.
“kita
pulang! Ibumu sudah menunggu Nita.” Perintahku tegas, menarik pelan tangan
mungilnya, tapi dengan angkuhnya ia menepis tanganku.
“aku
masih mau disini, kau saja yang pulang. Dia pasti akan datang, aku yakin itu.”
Aku kembali menarik tangannya kali ini lebih kencang dari sebelumnya.
“ku
bilang pulang! Dia tak akan datang! Karena dia sudah meninggal nita! Sadar nit!
Sadar!” kataku marah, emosiku kali ini sudah mencapai batas maksimumnya, sudah
lama aku menahan emosiku karenanya, tapi ini sudah berlebihan, kalo ini terus
ku biarkan ia bisa kehilangan akal sehatnya. Lagi-lagi ia menepis tanganku.
Menutup telinganya rapat, menggeleng sekuat yang ia bisa.
“nggak
mungkin ron, dia pasti datang! Pasti!” ujarnya tegas, berlari sekuat yang ia
bisa, pergi meninggalkan aku sendiri di sini.
***
Senyumku
mengembang layaknya sepotong cake yang ada di tanganku sekarang, rasanya semua
capek itu hilang ketika melihat hasil karyaku, yap sepotong cake cokelat yang
kurasa cukup mengiurkan ini, dengan langkah pasti aku memasukkan cake itu
kedalam dus yang telah ku sediakan dan membawanya menuju rumah gadis yang
sangat ku cintai. Tidak perlu memakan waktu yang lama aku telah sampai persis
di depan rumahnya. Menekan bel yang bertenger manis di samping pagar rumah,
selang beberapa menit seseorang datang dan menghampiriku.
“eh
den Roni, nyari non Nita ya?” tanyanya, aku mengangguk pasti.
“adakan
bi?”
“ada
kok den di kamarnya.” Jawab bi inem. Aku tersenyum, lalu segera bergegas masuk
ketika pintu pagar itu di buka.
“terima
kasih bi.” Ujarku, melangkah dengan pasti menuju kamar dimana Nita berada.
“hai
nit, lihat aku bawa apa?” kataku riang, ketika aku sudah berada di depanya, tak
ada balasan dari Nita ia tetap diam memandangku dengan tatapan yang sama
seperti waktu itu, tatapan yang membuat hatiku terasa perih.
“mau
coba nggak nit? Ini aku sendiri loh yang buat.” Aku terus saja berusaha membuat
dia merespon kata-kataku, tapi lagi-lagi yang ku dapat hanya nihil, ia tak
sedikitpun membalasnya. Aku melirik sedikit ke kotak yang sedari tadi ku
arahkan kepadanya, menghembuskan napas perlahan, menahan emosi yang telah siap
keluar. Aku pejamkan mataku perlahan, meletakkan kotak itu tepat di sampingnya,
lalu beranjak keluar dari kamarnya, sungguh aku tak ingin melihat ia seperti
ini. kemana Nita yang ku kenal dulu? Kemana perginya senyuman manis itu? Tuhan
bantu aku untuk mengembalikan senyuman itu lagi.
***
Aku
menatapnya dengan tatapan lembut yang ku punya, berharap masih ada secercah
kehangatan di sana. Tapi aku tidak dapat melihatnya, mata itu kosong dan
dingin, mata itu telah redup, dan yang hanya bisa mengembalikan sinar itu hanya
dia, bukan aku.
“nit”
panggilku pelan, ia menoleh ke arahku sebentar lalu membuang pandangannya
kemana-mana.
“mau
sampai kapan kamu kayak gini? Dia udah pergi nit, aku tau kamu sedih, tapi
bukan begini caranya, kamu menyisak diri kamu sendiri nit, kalau dia lihat ini,
dia juga pasti sedih nit.” Kataku panjang, nita hanya membalas dengan sebuah
helaan napas panjang. “ku mohon terima kenyataan.” Lanjutku lagi, nita
mengangguk pelan, dan beranjak pergi meninggalkanku. Apa arti anggukan itu? Apa
kau akan berusaha menerima kenyataan pahit ini?
***
“sebenernya
kita mau kemana sih?” tanyamu bingung, aku tersenyum menjawabnya.
“hei,
mau kemana?” merasa pertanyaanmu tidak ku jawab kau mengulang pertanyaanmu
tadi.
“nanti
kau juga tau kok.” Jawabku singkat, sambil terus berkonsetrasi menyetir. Ya
akhirnya aku berhasil membuatmu sedikit berubah. Kau tidak lagi murung dan
menatap sesuatu dengan pandangan kosongmu, kau juga sudah mulai tersenyum, ya
walaupun aku tau senyumanmu belum kembali seutuhnya. Tapi itu tak masalah
bagiku, karena hari ini aku berniat untuk mengembalikan senyumanmu itu.
Mobilku
berhenti tepat di depan bukit yang indah, di bukit ini banyak sekali tertanam
berbagai macam bunga, warnanya pun beragam. Aku dengan cepat melangkahkan
kakiku menuju puncak bukit, tapi baru setengah menaikinya aku tersadar akan
sesuatu, ya Nita hanya diam di samping mobilku, dan tatapan itu kembali,
tatapan menyayat hati itu. Aku membalikkan tubuhku, berjalan mendekatinya.
“enggak
mau naik nit?” tanyaku, Nita menggeleng pelan.
“mau
ngapai ke sini Ron? Kita pulang aja yuk.” Pintanya, ia merengkuh lenganku,
menarikku untuk kembali ke dalam mobil.
“Nit,
dengerin aku ya, aku tau bukit ini mengingatkan kamu sama dia, aku tau di bukit
ini juga dia hilang, tapi Nit kamu masih ada, kamu masih hidup, dan aku mau di
bukit ini juga kamu bisa menjadi Nita yang dulu, Nita yang ceria, bukan Nita
yang pemurung.” Aku menatap ke dua bola matanya, berharap ia mengangguk dan
menyetujui permintaanku kali ini. Nita nampak terdiam, sepertinya ia berusaha
untuk tidak mengingat kenangan buruk, kenangan di mana ia kehilangan seseorang
yang sangat ia sayangi. Kembali ia menghela napasnya, mengumpulkan sisa-sisa
keberanianya.
“ayo,
tunggu apa lagi?” ujarnya. Ia melangkah pasti menaiki bukit itu, aku tersenyum
melihatnya. Nitaku akan segera kembali, aku yakin itu.
Suasana
di sini memang tidak ada yang berubah, damai dan sejuk. Banyak sekali kupu-kupu
maupun burung-burung yang berterbangan, menambahkan keindahan. Semilir angin
menemani kita berdua, membelai perlahan rambut panjang milik Nita, dan
sepertinya ia nampak menikmati semuanya, mata indah itu ia pejamkan, menarik
napas dalam lalu menghembuskannya perlahan, mungkin dengan itu ia berharap
semua beban yang ada di dalam dirinya berkurang. Aku terus saja memandanginya,
tersenyum senang melihatnya.
“kau
tau kenapa aku ajak kau ke sini?” tanyaku memecahkan keheningan di antara kita.
Kau menggeleng pelan.
“aku
ingin menggantikan kenangan buruk dengan sebuah kenangan indah.” Kau menatapku
dengan tatapan bingung, aku tersenyum lalu berdiri dan mengacak-acak rambutmu
pelan.
“Nit,
aku tau aku bukan dia, aku tau aku tak akan bisa menggantikan posisinya di
hatimu Nit. Tapi nit ijinkan aku untuk masuk ke dalamnya.” Aku berusaha sekuat
tenaga untuk menutupi rasa grogiku, aku tidak mau kata-kata yang sudah ku susun
semalam suntuk ini gagal. Nita tersenyum lalu berdiri tepat di hadapanku.
“Ron,
aku memang belum bisa melupakan kenangan buruk itu, tapi aku mau membuat sebuah
kenangan baru bersamamu.” ujarnya pelan, ia membalikan badannya menatap langit
mendung siang ini. “langit sampaikan salamku untuknya, sampaikan bahwa aku
sudah menemukan seseorang yang dapat membuat kenangan indah itu lagi, langit
sampaikan padanya kalau dia tak perlu menghawatirkanku di sana, karena sekarang
dialah yang akan menjagaku.” Lanjutnya lagi, bersamaan dengan itu langitpun
kembali menumpahkan air. Perlahan tapi pasti air itu terus tumpah, membuat
bukit ini basah. Aku tersenyum senang, memeluknya erat sangat erat tak ingin
rasanya melepaskannya.
Hujan
kini menjadi sanksi bisu perjanjianku dengan dia. Janjiku yang akan selalu ku
penggang sampai maut menjemputku, janjiku untuk selalu membahagiakannya, dan
membuat goresan indah di dalam kehidupannya. Hujan jagalah dia saat ku tak ada,
hujan berikanlah dia kesegaran ketika kemarau menyelimuti harinya. Hujan temani
dia saat ia merasakan panas. Hujan samarkanlah tangisannya, jangan biarkan ia
menangis lagi.
0 komentar:
Posting Komentar